—Sunshine, Alvina
Aku bangun lalu mandi dan makan. Kemudian aku berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah, aku duduk dan mengambil buku di loker. Beginilah kegiatanku di hari-hari kedepan.
Pelajaran dimulai seperti biasanya. Aku mulai sibuk belajar dan fokus terhadap pelajaranku karena nilaiku menurun.
Kali ini tidak ada hambatan jadi aku tetap bisa mengejar semua ketinggalan. Aku mulai menjauhkan handphone dan buku novel lalu mulai menerapkan sistem belajar agar aku tidak mudah melupakan semua materi.
Sebentar lagi akan ada ujian tengah semester karena sudah memasuki bulan kedua. Aku tidak boleh membiarkan apapun menggangguku bahkan Alga. Kadang ia masih menelepon karena ia kekurangan materi catatan.
Setelah itu ia tidak mengganguku lagi. Ia tahu bahwa aku harus fokus dan menjaga kesehatan. Ini minggu yang menegangkan karena ada ujian. Aku sangat gugup. Aku takut aku melupakan semua pelajaran dimana aku hanya bisa mengarang dan menebak.
Sebelum ujian aku berdoa terlebih dahulu lalu mengerjakannya. Ujian kali ini tidak sesusah yang kukira. Tapi aku tidak boleh sombong karena bisa jadi dugaanku salah.
Aku hanya tidak mau berbuat dosa ketika ujian karena aku takut Tuhan akan membalasku disaat hasil akhir ujian.
Jadi pikiranku dipenuhi oleh hal-hal yang positif. Untung Rashya dan kawan-kawan juga tahu diri untuk tidak saling bersinggungan. Tapi selain diriku aku mengkhawatirkan Alga.
Sebab aku takut ia tidak bisa mengerjakan ulangannya. Aku ingin mendekatinya tapi tidak sekarang karena aku sedang banyak pikiran.
Hari kemerdekaan kami pun tiba, ujian sudah selesai dan ada libur tiga hari. Aku sangat lega itu berakhir tapi aku khawatir dengan nasib nilaiku. Semoga saja hasilnya baik.
Sepulang sekolah, aku mendatangi Alga di parkiran. Ia ingin naik ke motornya tapi ia berhenti ketika melihatku. “Alga. Gimana bisa ga?”
Ia tersenyum. “Aku mencoba sebisa mungkin."
Aku mengangguk. "Semangat!”
Ia bertanya, “Besok kau kosong?”
“Iya," jawabku. Kami saling menatap seolah kami saling tahu.
Ia memakai helmnya. “Besok kujemput."
Aku berkata, “Ok!”
Lalu aku berjalan pulang. Pikiranku beralih pada kejadian dimana aku dan Alga saling berdebat. Ia telah membuatku marah tapi dia justru berbicara yang sebenarnya.
Memang kematian ayahku tidaklah adil bagiku. Hanya karena seorang pencuri ingin masuk ke rumah. Ayahku menjadi sasarannya dan pencuri itu tidak berhasil ditangkap karena ia melarikan diri.
Bahkan kamera CCTV tidak berhasil menangkap wajahnya. Seolah dia tahu posisi sudut kamera. Tidak!
Hipotesis Alga telah memasuki diriku. Ia telah membuatku berpikir seperti dirinya. Aku hanya tidak mau karena bagiku Alga seperti hidup di dunia film. Dimana semua orang adalah pelaku dan korban.
Sesampainya di rumah, aku langsung naik ke kamarku. Ada yang ingin kusampaikan dan aku akan mengeluarkan semua pemikiranku sehingga aku tidak perlu menyimpannya.
Aku mengambil alat rekam dari dalam laci lalu memencet tombol start. “Alga. Aku tidak tahu apakah kematian ayahku disengaja atau ini merupakan takdirnya. Aku memang sempat berpikir kesana tapi aku tidak pernah melihatnya sebagai suatu kemungkinan.
Memang ada banyak keanehan yang terjadi. Jika pelaku itu adalah pencuri. Kenapa ia tidak mengambil apapun?
Lalu jika ia membawa senapan. Kenapa ia tidak menembaknya langsung?
Kemudian jika ia ingin mencuri, ia pasti melakukannya diam-diam bukannya sengaja berbuat kegaduhan, padahal ayahku hanyalah orang biasa. Dia orang yang baik.
Dia tidak hanya baik kepada keluarganya tapi ia juga baik pada orang lain. Bahkan ia rela keluar dari pekerjaannya demi karir ibuku. Ia rela menjaga rumah ini agar tetap bersih dan aman. Ia menggantikan tugas ibuku.
Ia memasak, mencuci, menyapu, dan mengurus diriku, padahal ia mencintai karirnya. Ia adalah seorang programmer di sebuah perusahaan besar tapi ia meninggalkan itu semua demi kami.
Di sisi lain ia adalah pribadi yang bijak. Setiap masalah yang kami hadapi, ia selalu mendukung dan menasehati kami.
Ia juga seseorang yang pantang menyerah. Itu terbukti ketika ia sedang belajar masak. Dari mulai menumis bawang sampai gosong hingga akhirnya, memasak aneka menu masakan.
Tapi ia juga keras kepala sama sepertiku. Ibu sering berdebat dengannya hanya karena masalah sepele seperti menaruh odol tidak pada tempatnya.
Ayahku suka sesuatu yang terorganisir dan rapih. Kalau ibuku suka menaruhnya dengan asal, yang penting kelihatan.
Setiap saat mereka bertengkar pasti selalu saja ada suatu hal yang membuat mereka akur lagi. Peran ayah di dalam hidupku sangatlah penting.
Tapi kini ia telah tiada. Rumahku tidak lagi sama. Ibu mulai sibuk dengan pekerjaan kantor dan rumah sedangkan aku semakin menjauhkan diri dari ibu.
Aku tahu seharusnya aku mendekatkan diri pada ibu tapi aku hanya tidak mau terlihat lemah dan aku tidak mau membebani pikirannya. Aku hanya bisa memberikannya suasana rumah yang tenang dengan cara menghadapi segala masalah sendiri.
Tapi keheningan itu justru malah membuatku semakin terpelosok masuk ke dalam lubang hitam. Adakah seseorang yang bisa keluar dari lubang itu atau terjebak selamanya?”
Aku mematikan alat rekam itu. Aku duduk di kursi. Memikirkan ulang semua perkataanku.
Dari leher sampai kaki aku merasakan pegal yang luarbiasa. Bagaimana tidak?
Aku tidur dalam posisi duduk di kursi. Awalnya aku pikir tulangku patah, ternyata mereka hanya keram.
Aku menggerakkan kaki dan tangan agar semua tulangku lemas. Kemudian dengan perlahan aku menggerakkan leherku setelah itu bangkit berdiri. Setelah itu aku berbaring di ranjang. Empuknya.
Aku ingin lanjut tidur tapi jam sudah menunjukan pukul 10.00 siang. Satu jam lagi Alga datang kesini. Aku harus mandi dan makan karena kemarin sore aku ketiduran.
Aku pun bangun dan mandi lalu aku bersiap. Aku memakai kaos hitam polos dan jeans putih lalu memakai kemeja panjang di pinggangku sebagai accessories.
Aku turun ke bawah dan makan. Hari ini adalah menu favoritku, yaitu ayam goreng. Aku makan dengan lahap bahkan menambah porsi nasi dua kali.
Setelah itu aku duduk di sofa menunggu Alga. Aku menonton TV. Tak lama handphone ku berdering. Itu pasti dari Alga!
Aku melihatnya, ternyata ia meneleponku.Aku mengintip di jendela, Alga sudah datang. Aku pamit. “Bu, Vina pergi dulu ya, ada rapat osis."
Ibu yang sedang melipat cucian berkata, "Iya. Tapi jangan pulang malam, ya. Soalnya nanti kamu ketiduran lagi."
Aku menjawab, "Iya, Bu."
Aku keluar dan menghampiri Alga. Aku memakai helm dan naik. Kami pun menuju rumah Alga. Aku selalu khawatir setiap kali dibonceng Alga karena ia selalu ngebut dan menyalip.
Aku mengkhawatirkan keselamatan jantungku dan kami berdua. Aku berbicara pada Alga, “Boleh aku pegangan. Kau terlalu cepat."
Ia tidak mendengar karena angin bertiup kencang ditambah bising kendaraan. “Apa?” tanyanya.
“Aku mau pegangan," teriakku.
Ia menjawab, “Ok."
Aku langsung mencengkram erat jaket Alga. Kalau ada yang mengenal kami, mereka pasti mengira bahwa aku bersikap romantis, padahal aku takut bukan main. Akhirnya, sampai juga di rumah Alga.
Aku langsung turun dan membuka helm. Panas. Ia memarkir motornya dan membuka pintu lalu aku masuk dan duduk di sofa. Ia membuka helm dan menaruhnya di meja.
Ia naik keatas membuka jaket dan mengambil petunjuk ketujuh. Ia lalu memberikannya padaku, aku membacanya. “Kenangan akan selalu hidup jika kau mempunyai keberanian untuk mengingatnya." Jujur ini sulit.
Sepertinya ia membicarakan tentang seseorang atau otak seseorang. Tidak mungkin ia menaruhnya di liang kubur. Alga menyerah. Ia sendiri tidak tahu. Kami berdua diam dan rasa frustasi menghampiri kami.
Aku bertanya, “Bisa jadi maksudnya adalah seseorang."
Ia membantah, “Tidak mungkin. Mereka tidak akan mempercayai siapapun."
Aku berdiri. “Boleh aku berkeliling?” tanyaku.
Ia menjawab, “Boleh saja asalkan jangan masuk ke dalam kamar."
Aku mengangguk. “Ok."
Aku penasaran dengan rumah ini. Aku menuju ruang tengah, dapur, gudang, ruang gym, ruang musik, dan taman belakang.
Tapi ada tiga ruang lain yang belum pernah kukunjungi dan aku penasaran sekali. Alga tiba-tiba menghilang jadi aku bisa mengintip ketiga ruangan ini.
Tapi aku tetap harus berhati-hati karena salah satu dari mereka adalah kamar Alga. Aku membuka yang paling kiri, ternyata itu adalah ruang kerja.
Aku masuk dan melihat, bisa jadi petunjuk itu ada disini. Aku membuka laci lemari. Kosong. Artinya bukan disini. Aku pun pergi.
Lalu aku menuju ruangan sebelahnya. Aku membuka pintu itu, ternyata itu kamar tidur. Mataku tertuju pada sebuah foto.
Aku ingin masuk tapi Alga mencegahku, ia lalu menarikku keluar dan menutup pintu.
“Sudah kubilang jangan!" bentaknya.
Aku masih penasaran. “Aku yakin disitu."
Ia menghalang pintu. “Tidak ada apa-apa disana."
Aku kesal. “Ini kamarmu?”
Ia menjawab, “Bukan tapi tidak ada yang boleh masuk."
Aku mendekat. “Kenapa?"
Ia diam lalu berkata, “Kamar ini tidak pernah kusentuh semenjak mereka tiada. Aku tidak mau memori itu muncul lagi."
Aku diam lalu berpikir. Mungkin itu yang dimaksud. Kemudian aku berkata, “Kenangan akan selalu hidup jika kau mempunyai keberanian untuk mengingatnya."
Alga diam. Matanya membesar ketika berhasil mencernanya. Ia menyentuh gagang pintu dan membukanya. Ruangan ini memiliki desain minimalis modern. Warnanya yang keabu-abuan membuat ruangan ini nampak elegan.
Alga membuka setiap lemari dan laci. Aku melihat sebuah foto yang digantung. Aku memperhatikan foto itu. Itu adalah foto mereka bertiga. Kedua orang tua Alga terlihat awet muda dan Alga masih sangat kecil. Mukanya imut.
Aku mengangkat foto itu dan membalikkannya. Kosong. Alga melihatku memegang foto keluarganya.
Ia merebut foto itu dari tanganku. “Kau boleh sentuh apapun, kecuali ini," ujarnya.
Hari ini aku membuatnya marah karena kecerobohanku. “Maaf. Aku hanya terlalu senang." ucapku.
Ia berkata, “Foto ini adalah foto satu-satunya yang kupunya tentang mereka. Kami jarang memotret."
Mendengar hal itu, aku langsung mengusul, “Mungkin itu sebabnya foto ini adalah petunjuk kita."
Alga memperhatikan sekeliling bingkai. Tidak ada tanda apa pun. Aku ingin melihatnya sekali lagi. Jadi aku memintanya. "Boleh kulihat lagi?"
Terpaksa ia memberikannya padaku. Aku melihatnya dengan teliti. Aku berhenti ketika melihat tulisan sebesar semut di dalam foto. Aku menunjukkan sesuatu pada Alga. “Lihat ini!”
Alga memperhatikan. Ia langsung menyambar bingkai itu ke ruang kerja. Ia menaruh bingkai itu di meja sambil mencari sebuah kaca pembesar.
Lalu ia membuka bingkai itu dan mengarahkan kaca itu pada foto. Ia menyuruhku untuk mencatat apa yang telah ia lihat. "Ini petunjuk kedelapan. Catat."
Aku mengambil kertas dan bersiap menulis. Ia lalu membacakannya, “Tidak ada manusia yang hidup abadi tapi ada yang abadi."
Aku menulisnya. Kami saling menatap. Ia menaruh foto itu kembali ke bingkai dan memajangnya.Kami lalu keluar dan turun ke sofa. Alga membaca petunjuk itu berulang kali. Aku berpikir. Manusia tidak bisa hidup abadi lalu apa yang abadi?
Ia bertanya, “Kau menyerah?”
Aku menjawab, “Tidak."
Ia tersenyum. “Bagus."
Kami diam. Rasa frustasi menghampiri kami lagi. Ia melanjutkan, “Terkadang aku merasa bahwa kedua orangtuaku mengetahui ajal mereka."
Aku menjawab, “Tidak ada yang tahu. Mereka hanya berjaga-jaga."
Ia tersenyum. “Kau masih berpikir bahwa tidak ada kemungkinan. Kalau kutebak pasti kau salah seorang yang tidak mempercayai alien."
Aku membalas, “Itu masih belum terbukti jadi aku hanya percaya dengan apa yang kulihat."
Ada hal yang kuingin tanyakan tapi aku ragu. Ia melihatku. “Sepertinya ada yang ingin kau tanyakan," jawabnya.
Aku bertanya, “Kenapa kau tahu?”
Ia tersenyum. “Aku bisa membaca orang termasuk dirimu."
"Memang apa lagi yang kau tahu?” tanyaku.
Ia menjawab sambil menunjuk kepalanya, “Banyak, tapi disini."
Aku memaksa, “Ayolah. Satu hal saja."
Ia diam sejenak lalu berkata, “Kau orang yang unik karena kau mempunyai dua pribadi yang berlainan. Itu jarang dimiliki oleh orang lain. Kau seperti dispenser air.
Ada sisi panas dan dingin. Ketika kau sedang bertindak kau memilih pribadi yang menonjol duluan.
Itulah sebabnya kau bisa membeludak marah di situasi biasa tapi kau bisa diam bersabar di saat situasi tegang.
Itulah mengapa kau selalu menahan amarahmu agar kau tidak melukai orang lain. Justru itu malah membungkam dirimu. Hati-hati Vina lama-lama kau bisa bertindak brutal akibat tekanan batin."
Aku terkejut mendengar ucapannya. Semua yang dikatakannya benar. “Kau bisa membaca pikiranku?” tanyaku.
Ia menggeleng. “Tidak. Tapi aku bisa membaca pribadi," jawabnya.
Aku senang ada yang memahami diriku tapi lama-lama aku merasa risih. “Kalau aku pergi jauh. Kau masih mencariku?” tanyaku.
Ia menatapku. “Iya kemana pun kau berada."
Aku bertanya lagi, “Walaupun aku botak kau masih mengejarku?”
Ia menjawab, “Tak peduli kau botak atau tidak. Aku akan terus mencarimu."
Aku tertawa. “Kenapa?”
Ia memalingkan wajah. “Kau adalah pasien uji cobaku."