—Sunshine, Alvina
Suara ibu membangunkanku, “Vina."
Penglihatanku samar, aku melihat wajah ibu yang khawatir. Ia mengguncang kedua bahuku. Aku tersentak. Aku pikir ini mimpi. Ibu lega ketika melihatku bangun.
Aku kaget mendapati diriku tertidur di lantai. Ibu bertanya, “Kenapa kau bisa tidur disini? ibu sudah takut kau pingsan."
Aku mengingat kejadian kemarin malam. Aku melihat ibu menangis lalu aku duduk di depan pintu kamarnya, setelah itu …
Ibu mengerutkan dahi. Aku berkata, “Bu, kemarin ketika Vina naik keatas. Aku mendengar ada suara tangisan. Aku mengintip, ternyata itu Ibu. Aku tidak tahu apa yang sedang Ibu alami karena aku bukan Ayah yang pintar menasehati jadi aku memutuskan untuk menemani Ibu agar tidak kesepian."
Ibu terkejut mendengar ucapanku, ia langsung memelukku lalu berkata, “Ibu sayang padamu. Kalau ada apa-apa jangan segan cerita."
Aku sama terkejutnya ketika mendengar ucapanku sendiri seolah ayah membisikkannya di telingaku.Ibu membantuku bangun. Tidur di lantai membuat tulangku sakit. Lain kali aku tidak mau tidur di lantai lagi.
Setelah itu kami menuju dapur. Ibu mulai memasak dan aku duduk menunggu. Aku melihat kearah jendela. Langit masih terlihat biru gelap. Aku melihat jam. Jam menunjukan pukul 05.00 pagi. Pantas saja.
Ibu memasak nasi goreng. Makanan favoritku. Setelah selesai memasak waktunya makan. Ibu naik keatas untuk mandi dan bersiap, sedangkan aku cuci piring.
Setelah aku selesai cuci piring. Ibu turun, ia sudah bersiap untuk berangkat. Aku mengucapkan selamat tinggal dan ibu memelukku lagi.
Ia menyalakan mesin mobil dan aku membuka gerbang. Ia membuka kaca dan melambaikan tangan. Aku pun membalasnya dan menutup gerbang. Setelah itu aku naik keatas dan mandi.
Jam menunjukan pukul 05.45 pagi. Biasanya aku bangun jam 06.00 pagi. Mungkin hari ini aku harus berangkat lebih awal.
Jalanan sangat sepi bahkan gedung sekolah terlihat seram.Aku masuk ke dalam kelas. Biasanya yang datang pagi hanya dua orang. Sebelum aku masuk, aku teringat. Ada Rashya.
Aku menyesal datang pagi tapi tidak apa. Teman-temannya yang lain belum datang. Jadi pagi ini aku aman.
Aku masuk dan duduk. Rashya melihatku daritadi. Ia memutar kursinya dan menatapku seolah aku ini mangsanya.
Aku mengalihkan pandanganku. Tidak nyaman rasanya jika seseorang terus menatapmu sampai kau membalas tatapannya.
Akhirnya, aku pergi dari ke toilet. Aku masuk dan mencuci tangan. Habis aku tidak tahu harus apa. Tak lama Rashya masuk.
Aku sudah tahu akan ada perkelahian sengit lagi. Aku meraba kantong rokku. Untung saja ada.
Rashya membuka keran air. Aku langsung masuk ke dalam bilik toilet. Aku langsung menyalakannya.
Tak lama. Rashya berkata, “Kau pikir kau bisa selamanya diam disitu." Aku diam dan mengarahkan alat rekam itu ke pintu.
Ia berkata lagi, “Kau tahu. Kita berdua itu mirip tapi aku berubah ketika SMP sehingga tidak ada seorang pun yang bisa menghinaku lagi. Mike adalah orang yang membelaku dan menasehatiku ketika aku di-bully oleh satu sekolah. Ia disukai oleh semua orang bahkan satu sekolah. Sulit untuk mendapatkan perhatiannya."
Ia lalu mendekat kearah pintu dan mendobrak pintu itu. Aku kaget jadi aku menjauh dari pintu.
Ia berteriak, "Dasar pengecut!"
Ia lalu diam dan berkata. “Aku sudah mengorbankan semua hanya untuk terlihat cantik di depan Mike. Tapi dia malah memilihmu dan kau malah ikut menyukainya. Kalian diam-diam pacaran!”
Mendengar kata itu aku langsung terpancing. Aku membuka pintu dan mendekati Rashya. Ia telah menungguku.
Kami saling bertatapan lalu aku angkat bicara, “Aku tidak menyukai Mike. Waktu itu dia menyatakan perasaannya padaku. Aku menolaknya tapi ada yang memotret kami diam-diam lalu menyebarkan berita itu ke satu sekolah."
Ia mendekat kearahku, tangannya ingin menampar pipiku. Aku langsung mengeluarkan alat rekam. Ia kaget dan mundur.
Aku mengancam, "Kalau kau berani menindasku lagi aku akan melaporkan ini ke pihak sekolah."