—Doctor Psycho, Alga
Alga menyalakan komputer ayah lalu mulai mencari file data lama. Mungkin ada yang terlewat.
Ada sebuah file berisi tentang surat akte tanah. Aku membuka dan membacanya. Ini adalah surat pembelian tanah. Aku melihat alamat yang tercantum. Aku memperhatikan alamat di dalam surat itu lagi. Rasanya aku tidak pernah lihat.
Aku membuka handphone dan mencari di google map. Lokasi tanah itu agak jauh dari rumahku. Sekitar dua puluh kilometer.
Aku tahu ini adalah petunjuk kesepuluh. Itulah mengapa aku akan mendatangi tempat itu. Aku mengambil handphone dan menelepon Vina.
Tak lama ia mengangkatnya, “Halo."
Aku berkata, “Besok pas pulang kamu bisa ikut aku?"
Ia menjawab, “Aku mau tapi aku takut ibu tidak mengizinkanku."
Aku membalas, “Ok. Bye!"
Ia menjawab, “Bye!"
Aku mematikan telepon. Tak lama ada pesan masuk dari Paman. Aku membacanya. “Besok Paman datang jam satu siang. Bersiaplah besok."
Kemudian ada pesan masuk dari Vina. “Besok aku bisa datang. Jam berapa?”
Aku membalas, “Kalau tidak diizinkan jangan kabur tanpa izin lagi."
Ia membalas, “Tidak. Sekarang ada Layla yang membantuku jadi kita aman."
Aku membalas, “Yakin? Nanti kamu dimarahin lagi pas pulang. Kasihan ibumu."
Ia membalas, “Aku yakin. Besok jam berapa?”
Aku membalas, “Habis selesai ambil rapot."
Ia membalas, "Ok. Bye doctor!"
Aku tersenyum. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Aku harus memberitahunya nanti walaupun aku tidak sanggup.
Aku bermain dengan sesuatu yang berbahaya. Aku sudah tahu itu beresiko tapi aku menanggapinya dengan keras kepala. Berpikir bahwa cinta adalah sebuah permainan. Sekarang aku terjerumus masuk ke dalam permainan yang sengaja kuciptakan.
Paman bertanya, “Mau sampai kapan kau begini?”
Aku bangun dan terkejut melihat paman yang sudah berada di samping sofa. Aku pikir aku di neraka.
Aku duduk menenangkan semua saraf di kepalaku. Kemudian aku berdiri. “Kenapa Paman bisa disini?” tanyaku.
Paman menjawab, “Lihat jam! Sudah jam berapa?”
Aku melihat jam, jam menunjukan pukul 1.30 siang. Aku langsung naik keatas dan mandi lalu turun ke bawah.
Paman bertanya, “Kenapa kamu pakai komputer ini? Bukannya kamu ada laptop."
Aku beralasan, “Laptopku hilang."
Paman menggeleng. “Kamu bilang mau yang mana nanti Paman belikan. Jangan pakai yang ini lagi!"
Kami masuk ke dalam mobil, ada pak supir yang mengantar kami. Kami diturunkan di lobi sekolah. Seperti biasa Paman selalu memakai kacamata hitam agar dirinya tidak mencolok.
Bagaimana tidak mencolok perhatian, ia saja memakai setelan jas berwarna biru dongker. Dimana semua orangtua murid hanya memakai pakaian formal.
Semua orang melihat kearah kami. Tapi aku tidak peduli yang penting aku bisa bertemu Vina.
Paman bertanya, “Dimana lift-nya?”
Aku menjawab, “Disini tidak ada lift hanya tangga."
Paman berkata, “Paman tidak habis pikir. Kenapa kamu mau pindah dari sekolahmu yang bagus ke sekolahmu yang sekarang?”
Kami naik ke kelas. Beberapa orangtua murid masih menunggu giliran. Layla masih menunggu. Ia sedang bersama Vina. Mereka langsung diam ketika melihatku.
Layla berkata, “OMG! Alga, ternyata diam-diam richboy."
Vina menyenggol sikut Layla. “Diam La!” sahutnya.
Vina mendekatiku. "Alga."
Aku langsung memperkenalkan Vina ke Paman. “Paman ini Vina. Vina ini Paman Sam."
Vina tersenyum dan paman berkata, “Oh, ini wanita itu?"
Aku berkata, "Iya, dia punya nama. Namanya Alvina tapi biasa dipanggil Vina."
Vina tersenyum malu lalu berkata, “Makasih ya, Paman udah bantuin Vina. Kalau ga ada kalian mungkin sampai hari ini aku terjebak."
Paman berkata, “Ayahmu orang yang baik tapi nasibnya tidak berakhir dengan baik."
Vina langsung memeluk paman. Paman terkejut akan reaksinya. Ia berkata, “Iya, cukup Alga tolong bantu Vina."
Aku berbisik padanya, “Kita membantumu dengan ikhlas jadi jangan buat kami malu."
Vina melepaskan pelukannya, matanya berkaca-kaca. Simpan air matamu.
Ia mengusap matanya dan berkata, “Maaf aku jadi bertingkah begini."
Aku berkata, “Tidak apa. Itu tidak seberapa."
Giliranku mengambil rapot. Sebelum masuk aku berkata padanya, “Nanti kujemput setelah kau pulang."
Ia mengangguk dan pergi menuju ibunya. Paman menjabat tangan ibu Silvy dan kami saling menyapa. Mereka berdua saling berbincang.