—Sunshine, Alvina
Aku berbaring di ranjang. Tubuhku tidak berdaya lagi. Memar dari kedua tanganku masih memanas dan air mataku tidak berhenti mengalir.
Aku tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Seumur hidupku aku tidak pernah diperlakukan sebegitu kasar oleh laki-laki bahkan oleh ayahku. Ketika aku tidak sengaja menumpahkan minumanku pada laptopnya saat ia sedang bekerja.
Tapi Alga sosok laki-laki yang baru saja kukenal sudah memperlakukanku begitu kasar. Rasanya aku ingin berteriak mengatakan padanya kenapa ia memperlakukanku begitu kasar, padahal aku hanya ingin membantunya. Apa yang ia pikirkan saat itu?
Aku membencinya. Aku benci Alga. Tapi aku tahu hati ini tidak sanggup membenci dirinya karena dia berhasil masuk menembus tembok ini.
Tembok yang selama ini kubangun hanya untuk menjaga agar tidak ada orang yang masuk dan mematahkan hatiku lagi. Sepertinya hatiku akan patah lagi oleh kedua laki-laki di dalam hidupku.
Aku berbaring hampir setengah hari di ranjang. Tidak makan, minum, dan mandi. Hanya diam termenung dan menangis. Aku tidak akan berhenti sampai Alga meminta maaf. Aku memang keras kepala dan itu adalah karakterku.
Tak lama ada dering telepon masuk. Aku berdiri dan langsung mengambil handphone itu. Aku tidak percaya.
Aku mengangkatnya. Kami sama-sama diam. Ia lalu berkata, “Vi—na." Suaranya pelan dan ia terdengar kesakitan.
Aku langsung bertanya, “Kau kenapa? Kepalamu sakit?”
Ia menjawab, “Iya. Kali ini sangat sakit."
“Kau dimana?” tanyaku khawatir.
“Di lantai," ucapnya lirih.
Aku langsung panik. “Kau tidak bisa bangun? Ada orang tidak di rumah? Talepon pamanmu sekarang!”
Ia berkata, “Tidak. Aku hanya ingin kau."
Aku membalas, “Ini sudah malam. Aku tidak bisa ke rumahmu."
Ia berkata, “Bukan. Suaramu."
Aku diam lalu bertanya, “Kau ingin aku apa? Bernyanyi? Membaca?”
Ia menjawab, "Jangan. Kau bicara saja."
Aku bercerita, “Hari ini kau membuatku marah sekaligus khawatir. Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya tidak bisa membencimu meskipun kau berhasil membuatku menangis. Kau ini terbuat dari apa? Dirimu sekeras batu tapi hatimu selembut sutera. Kau berhasil membuatku jatuh ke dalam lembah cinta."
Ia tertawa tapi aku tahu tidaklah mudah untuk tertawa disaat sakit.
Ia berkata, “Jangan berhenti. Aku hanya takut jika aku pergi untuk selamanya."
Air mataku menetes. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak siap. Rasanya jika aku punya sayap aku akan terbang menuju rumahnya sekarang.
Aku berkata, “Tidak. Kau tidak boleh pergi sekarang. Kau ingat? Kita adalah teman hidup. Perjalanan kita belum sampai akhir dunia jadi jangan tinggalkan aku."
Ia diam. Aku memanggilnya, “Alga?”
Ia masih diam. Tidak. Aku berteriak, “Alga!”
Akhirnya, ia menjawab, “Aku hampir tidur."
Aku lega karena dia sedang istirahat. Aku berkata, “Maaf. Aku pikir kau ..."
Ia menyela, “Kau seperti penyihir. Kau selalu membuatku tidur ketika mendengar suaramu."
Aku tersenyum. “Itulah mengapa aku akan mengutuk hatimu agar kau selalu mengingatku."
Ia diam lalu berkata, "Besok aku ingin bertemu denganmu."
Tanpa pikir panjang aku langsung menjawab, “Datang saja."
Ia lalu menjawab, “Besok aku datang."
Ia mematikan telepon. Aku berbaring. Mau dihancurkan berapa kali pun. Aku akan kembali padamu.
***
—Doctor Psycho, Alga
Lantai yang dingin menembus masuk ke dalam tulangku. Aku membuka mata lalu berusaha untuk duduk. Semua tulangku nyeri.
Aku bangkit berdiri dan langsung naik keatas. Kemudian berbaring di ranjang.Begitu empuk kasur ini sampai mengusir nyeri di seluruh tubuhku.
Setelah hampir lima belas menit aku berbaring. Aku bangun dan mandi. Kemudian aku turun untuk sarapan. Aku mengoles roti dengan selai kacang.
Tiba-tiba pintu terbuka aku menengok, ternyata itu pak Tarno, si pengurus rumah. Ia membawa sebuah amplop berwarna cokelat. Awalnya aku pikir itu amplop cokelatku tapi ketika dilihat lagi itu amplop yang berbeda.
Ia berkata, “Ini ada amplop di kotak surat buat Mas Alga." Lalu ia menaruhnya di meja.
Tangan kananku masih memegang roti. Aku mengeluarkan isi amplop itu, sebuah surat dan foto keluar. Aku menaruh roti itu di meja dan membaca surat itu.
“Kau tidak memberiku pilihan. Sekarang kau ingin bagaimana? Gadis itu sudah menderita. Jangan kau berikan dia beban lagi. Dia bergantung pada beasiswa di sekolahnya dan ibunya sibuk bekerja di kantor untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Di luar sana tanpa ia sadari ia menjadi ancaman bagi kasus Yudas. Pikir sebelum bertindak, Alga."
Aku diam lalu melihat foto-foto itu. Ada foto mobil ibunya ketika ia sedang berangkat kerja, foto ibunya saat sedang di kantor, foto rumah mereka, dan foto Vina yang sedang berjalan menuju sekolah.
Kedua tanganku mengepal dan memukul meja. Dasar! Aku telah masuk ke dalam perangkap paman dan aku tidak punya pilihan lain selain ikut bermain.
Aku memasukkan semua isinya dan menaruhnya di dalam tas. Aku menelepon paman. Ia mengangkatnya.
“Satu jam lagi aku sampai," ucapku sinis.
Aku memakai helm dan menuju motorku. Tiba-tiba ada telepon masuk. Aku mengangkatnya.
Vina berkata, “Halo. Jam berapa datang kesini?”
Aku langsung mematikan telepon. Dia aman. Lalu aku langsung menuju kantor paman. Sesampainya di lobi, petugas valet langsung bersiap.
Aku memberikan helmku dan langsung masuk ke dalam. Resepsionis langsung memberiku kartu akses. Aku masuk ke dalam lift.
Pintu lift terbuka, paman sedang duduk di sofa sambil meminum kopi. Ia melihatku dan aku duduk. Ia menaruh kopi itu lalu berkata, “Bagaimana kau sudah memutuskan?”
Aku menjawab, “Apa yang kau mau? Aku akan lakukan."
Ia menyeringai. “Aku mau kau pindah dari sekolah itu."
“Apa balasannya?” tanyaku.
Ia mengerutkan dahi lalu berkata, “Kujamin gadis itu dan keluarganya aman."