—Sunshine, Alvina
Sudah hampir empat hari aku berbaring di ranjang karena sakit. Ibu mulai khawatir tapi ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
Aku hanya bisa ke toilet tapi tidak bisa mandi. Setiap salah satu anggota tubuhku terkena air seluruh badanku bergetar.
Makan pun hanya dengan bubur polos ditambah kecap manis. Aku sudah tidak membayangkan rasanya lagi karena ini demi menjaga perutku agar tidak kosong.
Penghiburanku hanyalah langit. Aku tidak bisa bermain handphone, menonton TV, atau membaca buku karena itu bisa membuatku tambah pusing. Kebanyakan aku tidur dan bengong.
Hatiku masih menyerukan nama Alga tapi pikiranku mencoba untuk melihat fakta yang ada. Alga membenciku, ia tidak mau lagi bertemu denganku. Tapi hatiku malah masih mengharapkannya.
Di hari kelima aku sudah mulai segar. Aku sudah bisa mandi dan makan nasi walaupun badan ini masih merasa tidak enak.
Aku mulai mengisi kebosananku dengan membaca. Saat aku sedang asyik membaca, handphoneku berdering. Awalnya kupikir itu Alga tapi ketika aku melihat layar handphoneku, ternyata itu dari Layla.
Aku mengangkatnya, “Halo."
Layla menjawab, “Halo my baby Vina."
Aku bertanya, “Ada apa?”
Ia menjawab, “Aku dengar kamu lagi sakit."
“Iya nih. Eh, kamu tau darimana, La?" tanyaku heran.
Ia membalas, “Ya, tau dari orang rumah lah, Vin."
Aku bingung. “Masa ibu kasih tau kamu?”
Ia menjawab, “Ya, iya dong. Makanya punya ibu yang baik itu tuh dideketin jangan dijauhin."
Aku bertanya, “Terus apa lagi selain itu yang ibu kasih tau?”
Ia membalas, “It’s a secret."
Aku tertawa. “Masa ibu aku jadi main rahasiaan sama kamu sih, La?"
Ia bertanya, “How’s Alga?”
Aku diam sejenak lalu berkata, “Kemarin dia udah ga mau ketemu aku lagi."
Ia terkejut. “What? Baru deket beberapa hari udah ribut?"
Aku menjawab, “Ya, begitulah cinta. Emang rumit." Sebenarnya ada alasan lain tapi aku tidak mau menyebutkannya.
Ia berkata, “Yaudah, Vin. Sabar ya. Jangan sampai kamu jadi tambah sakit. Bentar lagi udah mau masuk sekolah, lho."
Aku membalas, “Entahlah, La. Aku malas ketemu Alga tapi aku juga rindu ketemu dia."
Ia berkata, “Vin. Itulah salah satu alasan mengapa aku juga ga mau punya pacar atau suka sama seseorang karena aku tahu pasti bakal berujung begini. Makanya aku lebih suka like IG cogan dibanding fall in love with the real cogan."
Layla mulai salah paham tapi daripada diam lebih baik mendengarkan. Aku bertanya, “Kenapa sih La kamu tuh suka main IG terus-terusan?”
Ia menjawab, “OMG! IG itu seru. Kayak serasa masuk ke dalam dunia lain. Tapi bukan dunia gaib ya. Pokoknya seru deh. Sakin serunya sampai aku bisa main seharian."
Aku membalas, “Coba aja aku betah main IG kayak kamu, La. Mungkin aku ga bakalan kenal yang namanya Alga."
Ia menjawab, “Ih, kalau gitu mah nanti aku telepon kamu ga bakalan diangkat gara-gara sibuk main IG."
Aku membalas, "Bercanda, La. Kalau aku main handphone terlalu lama mataku sering sakit."
Ia berkata, “Ya jangan kayak si Rashya. Dikit-dikit status terus. Eh iya, Rashya sekarang udah ga suka jahatin kamu lagi kan?” Udah telat, La.
Aku menjawab, “Jangan bahas dia lagi!"
Ia bertanya, “Terus kita bahas apa selain ngomongin orang?”
Aku berkata, “Masih ada banyak. Soal pelajaran misalnya."
Ia membalas, “Aduh, Vin. Justru hari libur jangan mikirin begituan. Bikes tau ga!”
Tak lama ibu pulang. Ia naik keatas menuju kamarku. Aku berkata, “Udah dulu ya, La. Bye!"
Ia menjawab, “Bye, Vin. GWS ya!”
Aku mematikan telepon. Ibu masuk. Ia lalu berkata, “Lagi teleponan sama Layla ya?”
Aku menjawab, “Iya, Bu."
Ia duduk di ranjang dan memelukku. “Vina, Ibu tahu kamu sedang dalam masa remaja. Tapi jangan suka membantah kata Ibu terutama kalau Ibu larang. Ibu tahu kalau kamu sedang melewati sesuatu yang berat tapi Ibu minta agar kamu tetap tegar. Meskipun tidak ada ayah kamu masih ada Ibu yang siap mendengarkan dan menasehati kamu."
Mataku berkaca-kaca, aku langsung memeluk ibu. Aku menangis bukan karena sedih tapi terharu. Akhirnya, ibu sadar bahwa selama ini aku membutuhkannya.
Semenjak hari itu hubunganku dengan ibu mulai membaik. Ibu mencoba memahami diriku dan ia sering menanyakan tentang kehidupan sekolahku.
Aku bercerita tentang pertemananku dengan Layla, Mike yang menyukaiku, perlakuan Rashya dan teman-teman terhadapku. Tapi aku tidak pernah memberitahunya tentang Alga.
Aku menyimpannya di dalam hati karena belum saatnya ibu tahu. Aku juga mulai menumbuhkan rasa peduliku.
Aku mulai membantunya dalam hal pekerjaan rumah supaya ia tidak kelelahan. Bahkan belajar memijat kakinya disaat ia sedang stress akibat pekerjaan.
Kami banyak melakukan kegiatan bersama dan kita namakan hari itu girls day. Hari dimana kita bisa pergi ke salon untuk creambath, belanja meskipun aku yang menenteng seluruh belanjaan ibu, dan menonton drama korea di TV.
Aku juga mulai membantu ibu di dapur. Walaupun lama-lama ibu merasa risih karena aku selalu salah dalam memotong sayur atau menuang bumbu dalam masakan.
Tapi aku senang akhirnya, kami berdua menjadi akrab. Walaupun nanti aku akan sibuk dengan pekerjaan sekolah, aku akan tetap mencoba untuk membantu ibu.
Hari-hariku di rumah lebih menyenangkan dibanding hari-hariku di sekolah. Tapi aku lebih memilih untuk melihat sisi positifnya. Kalau di rumah ada Ibu, kalau di sekolah ada Layla.
Hubunganku dengan Layla juga membaik tapi semakin sering Layla banyak bicara maka semakin sering kami ribut.
Aku mencoba untuk mengerti Layla dan memaklumi sifatnya yang semberono. Namanya juga Layla, ia lupa dengan janjinya untuk lebih peduli denganku.
Di kelas aku jarang menengok ke belakang karena aku tidak berani melihat Alga. Seperti biasa ia pendiam dan sibuk dengan dunianya sendiri.
Kadang ia pergi ketika break. Aku tidak tahu dia pergi kemana. Tapi kelakuannya yang sering berpergian membuatku terusik. Apa dia mencari korban kedua? Kira-kira wanita seperti apa yang dia incar?
Jauh di dalam lubuk hatiku aku cemburu tapi pikiranku selalu menyuruhku untuk tidak mempedulikannya. Aku terjebak di antara zona bertahan dan move on. Aku tidak yakin diriku mampu melupakan semua kenangan bersama Alga. Terlebih lagi aku bukan tipe orang yang gampang sekali move on.
Kalau seseorang sudah kubiarkan masuk, dia tidak akan keluar lagi. Kadang aku takut mencintai Alga sampai kematian menjemputku. Aku takut kalau aku tidak bisa mencintai orang lain selain Alga karena itu yang dirasakan olehku dulu.
Semenjak ayahku pergi. Aku tidak memperbolehkan laki-laki lain masuk dan memiliki hatiku. Apa aku harus memohon pada Alga baru ia sadar bahwa cintaku ini tulus?
Kalau itu yang kau mau, aku akan berikan itu padamu. Setelah bel makan siang berbunyi, aku akan menghampiri Alga lagi.
Setelah pelajaran kimia. Bel yang kunanti akhirnya, berbunyi. Aku berkata pada Layla bahwa aku akan menyusulnya ke kantin. Semua siswa berbondong keluar dari kelas.
Ketika sudah sepi Alga baru keluar. Aku langsung berdiri dan mengikuti Alga tapi tiba-tiba Edo memanggilku, “Vin. Ada waktu ga?”
Aku bingung sejak kapan Edo mau berbicara denganku, padahal menatap mukaku saja ia sudah tidak tahan.
Aku bertanya, “Kenapa?”
Ia kelihatan gugup. “Hmm ... itu Vin. Soal kasus Mike sebenarnya aku yang salah. Aku sengaja foto pas kalian lagi berdua dan nyebarin berita hoaks ke satu sekolahan. Sorry ya, Vin." Rasanya aku ingin menamparnya.
Aku menjawab, “Yaudah. Udah lewat juga kan." Ia membetulkan kacamatanya dan kembali duduk.
Sepertinya aku juga harus minta maaf pada Mike karena sudah membuatnya ditonjok Alga. Tapi itu urusan nanti, sekarang aku harus mencari Alga.
Aku mencarinya di kantin, lapangan, ruang musik, dan parkiran. Dia tidak ada disana. Dia pasti sudah mencari sarang baru untuk nongkrong.
Aku menyeder di teras. Dimana kau sekarang? Mataku tertuju pada seseorang yang memakai hoodie berwarna abu-abu.
Dari gaya jalannya sudah pasti Alga. Aku langsung turun dan mengejarnya. Ia berada di depanku.
Aku berlari. Ketika aku sudah dekat. Aku memanggilnya, “Alga berhenti!”
Ia berhenti dan menengok ke belakang lalu ia meneguk minuman kaleng itu.
Aku langsung berlutut. Semua orang yang melihat kejadian itu langsung berkerumun. Aku menatap Alga dengan penuh harap. Ia masih meneguk habis minuman itu.
Semua orang langsung heboh dan mereka berteriak,
“Maafin ...!
Maafin ...!"
Bibirku mengucapkan dengan pelan. “Kumohon!"
Ia hanya menatapku sambil meminum minuman kaleng itu. Setelah ia selesai, ia membuang minuman kaleng itu ke lantai dan pergi. Suasana langsung mendadak hening.
Aku terkejut melihat reaksinya. Tiba-tiba ada yang menyaut, “Bubar, ah! Ga seru." Semua orang langsung pergi. Aku masih dalam posisi berlutut.