Pagi hari Embun mendapat telepon dari Mamanya di Bogor. Katanya mamanya itu rindu dengan anak gadisnya. Alhasil, Embun dipaksa pulang oleh Cahya. Bahkan Embun sampai diancam pengurangan uang jajan jika tidak mau pulang saat ini juga.
Dan disinilah Embun berada. Di sebuah mobil travel yang akan membawanya ke kota hujan tersebut. Embun menghela napasnya. Ia mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari Jihan.
Kak Jihan : Ya udah. Hati - hati.
Sungguh, Embun sangat berterima kasih kepada seniornya di restoran yang sangat baik itu. Jika bukan Jihan yang menjadi senior, mungkin saja Embun sudah mendapat banyak omelan karena pergi secara mendadak. Bahkan, bisa saja dia diberhentikan. Ya, walaupun Jihan juga mengomelinya sedikit. Apalagi, Embun kan dibayar per jam. Otomatis, gajinya hari ini tidak akan turun.
Tapi ya sudah lah. Daripada ia tidak mendapat uang jajan dari Mamanya, lebih baik ia tidak bekerja.
Karena perjalan dari Bandung ke Bogor cukup lama, Embun memutuskan untuk menutup mata dan telinganya. Ia tertidur sambil mendengarkan musik.
Sampai di rumah, Embun segera mencari Cahya. "Bi, Mama mana ya?"
"Ada di kolam, Non."
Embun mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia langsung melangkahkan kakinya untuk mencari Mamanya.
Ia dapat melihat jelas Mamanya sedang termenung di pinggir kolam. Seperti orang banyak pikiran saja.
"Ma, Embun udah sampai loh ini. Gak mau nyambut gitu?" Gerutu Embun kesal.
Cahya langsung saja menoleh dan tersenyum saat melihat anak gadisnya. "Embun! Astaga, Mama kira kamu bohong mau pulang. Ternyata beneran."
Embun menatap Mamanya itu malas, "abis Mama ngancem potong uang jajan."
Cahya terkekeh, "udah makan? Bibi tadi bikin ikan sama ayam."
Embun hanya mengangguk. Kemudian ia pergi meninggalkan Mama nya ke kamar. Sudah lama ia tidak tidur di atas kasur berseprai hijau muda tersebut. Terakhir enam bulan yang lalu kalau tidak salah.
Embun tersenyum kecil melihat foto yang masih setia tergantung di dekat meja belajarnya. Fotonya bersama Hujan, kakaknya.
"Kamar kamu tetep Mama bersihin kok selama kamu gak pulang. Tenang." Cahya tiba - tiba saja berucap saat melihat anaknya terdiam di pintu kamar.
"Iya, aku tahu. Kak Hujan mana Ma?"
"Kerja lah. Kakak kamu itu jarang banget ada di rumah. Pulang cuma numpang tidur sama makan. Heran banget Mama sama anak cowok satu itu."
Embun terkekeh, "gak apa - apa lah Ma, yang penting masih inget pulang. Daripada sekalinya pulang malah bawa anak kan?"
Cahya membulatkan matanya dan memukul anaknya pelan, "ngomongnya asal! Kalau Hujan sampai beneran kayak begitu, Mama kebiri dia."
Keduanya tertawa puas. Memang benar ya apa kata orang Embun itu jiplakan Cahya. Cahya suka sekali membully anak pertamanya itu, sama seperti Embun. Tapi masih dalam batas wajar tentunya.
"Mama kenapa nyuruh aku pulang tiba - tiba? Selain alasan kangen." Selidik Embun kemudian.
Cahya tersenyum, "kamu inget gak sama ucapan Mama waktu itu?"
"Yang mana?"
"Yang kalau umur kamu sudah dua puluh satu tahun, kalau belum punya pacar Mama bakal kenalin sama anak sahabat Mama."
Cahya dapat mendengar anaknya itu menghela napas, "inget Ma."
"Jadi, gimana? Kamu sudah ada belum?"
"Ma, aku baru aja umur dua puluh satu satu bulan yang lalu. Gak mungkin secepat itu lah. Lagipula, dari pada aku mending Kak Hujan aja yang Mama suruh buat cari pasangan. Aku masih muda, dia sudah tua."
"Beda tiga tahun aja bangga."
"Ya abisnya, Mama maksa banget aku punya pacar di umur segini."