All the Missing Girls

Noura Publishing
Chapter #2

HARI KE-1

Aku mengamati apartemen untuk kali terakhir sebelum memuati mobilku: koper-koper yang menanti di samping pintu; kunci di dalam amplop di meja dapur; kotak terbuka setengah penuh berisikan barang-barang terakhir yang kukemas semalam. Aku bisa melihat setiap sudut apartemen dari dapur terbuka—terekspos dan kosong—tetapi tetap saja aku punya perasaan bahwa aku melupakan sesuatu.

Aku telah membereskan segalanya dengan terburu-buru, menyelesaikan beberapa minggu terakhir tahun ajaran sekolah sambil menangani telepon-telepon dari Daniel dan mencari penyewa untuk tempat tinggalku selama musim panas—tidak ada waktu untuk jeda, untuk merenungkan fakta bahwa aku benar-benar melakukan ini. Pulang. Pergi ke sana. Daniel tidak tahu mengenai surat itu. Dia hanya tahu kalau aku datang untuk membantu dan punya waktu dua bulan sebelum aku harus kembali pada kehidupanku di sini.

Kini, apartemenku bisa dibilang kosong. Sebuah bilik industri, dilucuti semua kehangatannya, menanti mahasiswa pascasarjana yang tampak cukup bertanggung jawab dan akan tinggal di sana hingga Agustus. Piring-piring kutinggalkan untuknya, karena sulit dikemas. Kasur lipat kutinggalkan untuknya, atas permintaannya dan karena dia membayar uang tambahan lima puluh dolar.

Sisanya—setidaknya barang-barang yang tidak akan muat dalam mobilku—berada di unit penyimpanan yang berjarak beberapa blok. Seluruh kehidupanku berada di dalam kubus persegi panjang yang tertutup rapat, dipenuhi perabot warna-warni dan pakaian musim dingin.

Suara seseorang mengetuk pintu menggema dari dinding-dinding kosong, membuatku terlompat. Penyewa baru itu seharusnya tiba beberapa jam lagi, ketika aku sudah dalam perjalanan. Ini masih sangat kepagian untuk siapa pun lainnya.

Aku melintasi ruangan sempit itu dan membuka pintu depan.

“Kejutan,” kata Everett. “Aku berharap bisa menemuimu sebelum kau berangkat.” Dia berpakaian kerja—rapi dan keren—dan dia membungkuk menciumku, dengan sebelah lengan di belakang punggung. Dia beraroma kopi dan pasta gigi; kanji dan kulit; profesionalisme dan efisiensi. Dia mengeluarkan cangkir stirofoam mengepul dari balik punggung. “Kubawakan ini. Untuk di jalan.”

Aku menghela napas dalam-dalam. “Cara untuk mengambil hatiku.” Aku bersandar ke meja, menyesap panjang kopi itu.

Dia menengok arloji dan meringis. “Aku benci melakukan ini, tapi aku harus pergi. Rapat pagi di sisi lain kota.”

Kami saling mendekat untuk satu ciuman terakhir. Kuraih sikunya ketika dia menjauh. “Terima kasih,” ucapku.

Dia meletakkan keningnya di keningku. “Pasti cepat habis. Lihat saja nanti.”

Aku mengamati kepergiannya—langkahnya ringan dan tenang, rambut warna gelapnya menyapu kerah kemeja—hingga dia mencapai lift di ujung koridor. Dia menoleh ke belakang persis ketika pintu lift bergeser membuka. Aku bersandar pada kerangka pintu, dan dia tersenyum.

“Hati-hati menyetirnya, Nicolette.”

Kubiarkan pintu menutup, dan realitas hari itu mendadak membuat tungkai-tungkaiku terasa berat, ujung jemariku bergelenyar.

Angka-angka warna merah pada jam microwave terus berganti, dan aku mengernyit.

Aku hendak menyetir selama sembilan jam dari Philadelphia ke Cooley Ridge, belum termasuk lalu lintas, istirahat makan siang, perhentian di pompa bensin dan kamar kecil, yang tidak bisa dipastikan. Dan, karena aku baru berangkat dua puluh menit setelah mengatakan akan berangkat, aku sudah bisa membayangkan Daniel duduk di beranda depan, mengetuk-ngetukkan kaki, ketika aku berbelok memasuki jalanan mobil tak beraspal di depan rumah.

Aku mengiriminya pesan teks sambil mendorong pintu depan hingga terbuka dengan salah satu koper: Sudah di jalan, tapi kira-kira tiba pukul 03.30.

Perlu dua kali bolak-balik untuk menyeret koper dan kotak-kotak yang tersisa hingga ke mobil, yang terparkir di dekat situ, di balik gedung. Aku mendengar awal lalu lintas jam sibuk di kejauhan, dengung tak terputus di jalan raya, dan sesekali suara klakson. Keselarasan yang sudah tak asing lagi.

Aku menyalakan mesin mobil, menunggu AC terasa dingin. Oke, oke, pikirku. Kuletakkan ponsel di tempat gelas dan kulihat jawaban dari Daniel: Dad menantimu untuk makan malam. Jangan terlambat.

Seolah-olah aku akan terlambat tiga jam dari waktu yang kusebutkan. Itu salah satu prestasi Daniel yang sangat mengesankan: Dia telah menyempurnakan seni mengirim pesan teks pasif-agresif. Dia telah mempraktikkannya selama bertahun-tahun.

Semasa kecil, aku terbiasa percaya bahwa aku bisa melihat masa depan. Ini mungkin kesalahan ayahku, yang memenuhi masa kanak-kanakku dengan kata-kata basi dari kuliah Filsafat-nya, membiarkanku memercayai hal-hal mustahil. Aku memejamkan mata dan menghendaki kemunculan masa depan, sekilas demi sekilas, dengan indahnya. Kulihat Daniel berjubah dan bertoga. Ibuku terlihat tersenyum di sampingnya lewat lensa kameraku, ketika aku mengisyaratkan mereka agar saling mendekat. Rangkul ibu. Berpura-puralah kalian saling menyukai! Sempurna. Kulihat aku dan Tyler, bertahun-tahun kemudian, melemparkan tas-tas kami ke bagian belakang truk pikapnya yang bernoda lumpur, pergi untuk kuliah. Pergi untuk selamanya.

Saat itu, mustahil untuk memahami bahwa keluar dari sana bukanlah sebuah peristiwa dalam truk pikap, tetapi proses pengikisan selama sepuluh tahun. Kilometer-kilometer dan tahun-tahun, yang perlahan-lahan mengisi jarak. Tambahan pula, Tyler tak pernah meninggalkan Cooley Ridge. Daniel tak pernah lulus kuliah. Lagi pula, ibu kami tak akan bertahan hidup untuk menyaksikannya.

Seandainya hidupku adalah tangga, maka Cooley Ridge adalah dasarnya—kota sederhana yang menyempil di pinggir Smoky Mountains, definisi sesungguhnya Kota Kecil Amerika, tetapi tanpa pesonanya. Di lain tempat—di mana pun itu—terdapat tangga lebih tinggi yang perlahan-lahan kugapai seiring waktu. Kampus yang berjarak tiga ratus kilometer di timur, sekolah pascasarjana yang berjarak satu negara bagian di utara, kerja magang di sebuah kota, tempat aku menjejakkan kaki dan menolak untuk pergi. Apartemen atas namaku sendiri dan pelat nama di mejaku sendiri. Dan, Cooley Ridge selalu menjadi sesuatu yang semakin kujauhi.

Namun, inilah yang kupelajari tentang kepergian—kau tidak bisa benar-benar kembali. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dengan Cooley Ridge, dan Cooley Ridge juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadapku. Jarak itu hanya semakin meningkat seiring tahun-tahun yang berlalu.

Hampir selalu, jika aku berupaya memusatkan perhatian kembali pada Cooley Ridge—Ceritakan rumahmu, ceritakan masa kecilmu, ceritakan keluargamu, kata Everett—yang kulihat hanyalah karikaturnya di benakku: kota miniatur yang dipajang di meja depan pada masa liburan, segalanya membeku dalam waktu. Jadi, aku memberinya jawaban basa-basi, datar dan tidak spesifik: Ibuku meninggal ketika aku berusia enam belas; itu kota kecil di pinggir hutan; aku punya seorang kakak laki-laki.

Bahkan bagiku, bahkan ketika aku menjawab, Cooley Ridge tampak seperti bukan apa-apa. Foto polaroid yang memudar mulai dari pinggirannya, warna-warnanya luntur; kontur sebuah kota hantu yang dipenuhi hantu.

Namun, begitu Daniel menelepon—“Kita harus menjual rumah itu”—langsung kurasakan goyahnya papan-papan lantai di bawah kakiku. “Aku pulang,” kataku, dan pinggiran foto itu beriak-riak, warna-warnanya terbakar: Ibuku menekankan pipi di keningku; Corinne mengayun-ayun kabin kami perlahan-lahan ke depan dan ke belakang di puncak kincir ria; Tyler menyeimbangkan tubuh di atas pohon tumbang yang melintangi sungai, terentang di antara kami.

Gadis itu, tulis ayahku, dan tawa gadis itu mengguncang jantungku.

Aku harus bicara denganmu. Gadis itu. Aku melihat gadis itu.

Satu jam kemudian, sesaat kemudian, Dad mungkin sudah lupa—menyisihkan amplop tertutup itu hingga seseorang menemukannya terabaikan di atas lemari atau di bawah bantal Dad dan mengambil alamatku dari arsip. Namun, itu pasti ada pemicunya. Ingatan. Gagasan yang hilang dalam sinapsis-sinapsis otak Dad; cetusan pikiran tanpa tempat tujuan.

Halaman yang dirobek, tulisan miring, namaku di amplop ….

Dan, kini sesuatu yang tajam dan liar terlepas di dalam kepalaku. Nama gadis itu, yang melambung-lambung seperti gema.

Corinne Prescott.

Surat ayah telah terlipat di dalam tasku selama beberapa minggu terakhir, berada persis di bawah permukaan benakku. Setiap kali aku merogoh dompet atau kunci mobil dan merasakan sedikit pinggirannya atau tusukan sudutnya, maka gadis itu akan kembali berada di sana: rambut panjang warna perunggu yang tergerai di bahu, aroma permen karet spearmint, dan bisikannya di telingaku.

Gadis itu. Dia selalu gadis itu. Mustahil ada gadis lain.

Terakhir kalinya aku menyetir pulang adalah lebih dari setahun silam—ketika Daniel menelepon dan mengatakan kami harus memasukkan Dad ke sebuah fasilitas rehabilitasi, sedangkan aku tidak bisa membenarkan ongkos penerbangan mendadak. Hujan turun hampir di sepanjang perjalanan, bolak-balik.

Namun, hari ini adalah hari sempurna untuk menyetir. Tidak ada hujan, mendung tetapi tidak gelap. Terang tetapi tidak menyilaukan. Aku berhasil melintasi tiga negara bagian tanpa berhenti, kota-kota dan gerbang-gerbang tol mengabur ketika aku memelesat lewat—perwujudan dari segala yang kusukai sehubungan dengan tinggal di utara. Aku menyukai lajunya, betapa kau bisa mengisi hari dengan daftar pekerjaan yang harus dilakukan, mengendalikan jam-jam dan menaklukkan mereka semaumu. Juga ketidaksabaran pegawai toko kelontong di pojok dekat apartemenku, betapa dia tak pernah mendongak dari teka-teki silangnya, tak pernah melakukan kontak mata. Aku menyukai semua anonimitas ini. Trotoar yang dipenuhi orang asing dan peluang yang tak kunjung habis.

Menyetir melintasi negara-negara bagian juga seperti itu. Namun, awal perjalanan selalu jauh lebih cepat daripada akhirnya. Semakin jauh ke selatan, gerbang keluar tolnya semakin sedikit, pemandangannya sama terus, dipenuhi hal-hal yang aku yakin sudah kulewati ribuan kali.

Aku berada di suatu tempat di Virginia ketika ponselku berdering dari tempat gelas. Aku merogoh tas untuk mencari perangkat hands-free, dengan mempertahankan satu tangan pada kemudi, tetapi akhirnya aku menyerah dan menekan tombol speaker untuk menjawab telepon itu. “Halo?” kataku.

“Hei, bisa dengar suaraku?” Suara Everett berderak-derak, dan aku tidak yakin apakah itu gara-gara speaker ponsel atau penerimaan sinyalnya.

“Ya, ada apa?”

Dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami, kata-katanya terputus-putus.

“Maaf, suaramu terputus-putus. Apa?” Aku bisa dibilang berteriak.

“Sedang makan siang kilat,” katanya di antara derau. “Hanya mengecek. Bagaimana ban mobilnya kali ini?” Aku mendengar senyuman dalam suaranya.

“Lebih baik daripada sinyal ponselnya,” jawabku.

Dia tertawa. “Aku mungkin akan rapat seharian, tapi telepon aku sesampainya kau di sana, agar aku tahu.”

Aku berpikir untuk berhenti dan makan siang, tetapi tidak ada sesuatu pun kecuali trotoar dan ladang selama berkilometer-kilometer.

Aku bertemu Everett setahun lalu, pada malam setelah aku memindahkan ayahku ke fasilitas rehabilitasi. Aku menyetir pulang ke apartemenku, tegang dan resah, ban mobilku kempes setelah lima jam perjalanan, dan aku harus mengganti ban sendiri di bawah rintik-rintik hujan.

Setibanya di apartemen, aku sudah hampir menangis. Aku kembali dengan tas terselempang di bahu, tanganku gemetar ketika mencoba memasukkan kunci ke lubang pintu. Akhirnya aku menyandarkan kepala pada pintu kayu tebal itu untuk menenangkan diri. Yang lebih buruk lagi, cowok di apartemen 4A keluar dari lift pada saat bersamaan, dan aku merasa dia menatapku, mungkin menunggu krisis yang sebentar lagi meledak.

Apartemen 4A. Hanya ini yang kuketahui tentangnya: Dia memutar musik terlalu keras, dia didatangi terlalu banyak tamu, dan dia mengikuti jam-jam yang tidak tradisional. Ada seorang lelaki di sampingnya—perlente, sementara dia sendiri tidak. Rapi, sementara dia acak-acakan. Sadar, sementara dia mabuk.

Lelaki di apartemen 4A terkadang tersenyum kepadaku ketika kami berpapasan di koridor pada malam hari, dan dia pernah menahan pintu lift untukku, tetapi ini adalah sebuah kota. Orang datang dan pergi. Wajah-wajah mengabur.

“Hei, 4C,” ocehnya tidak jelas, dengan kaki goyah.

“Nicolette,” kataku.

“Nicolette,” ulangnya. “Trevor.” Lelaki di sampingnya tampak malu dengan kelakuannya. “Dan ini Everett. Tampaknya kau perlu alkohol. Ayo, bersikap ramahlah.”

Menurutku, bersikap ramah adalah mengetahui namaku setahun silam, ketika aku pindah kemari, tetapi aku menginginkan minuman itu. Aku ingin merasakan jarak antara di sana dan di sini; aku perlu kelegaan setelah menyetir selama sembilan jam.

Trevor mendorong pintu apartemennya hingga terbuka ketika aku berjalan menghampiri mereka. Lelaki di sampingnya menjulurkan tangan dan berkata, “Everett,” seakan-akan perkenalan Trevor tidak masuk hitungan.

Saat meninggalkan apartemen itu, aku telah menceritakan kepada Everett mengenai pemindahan ayahku, dan katanya itu hal yang benar. Aku telah menceritakan ban kempes, hujan, dan semua yang ingin kulakukan pada musim panas, ketika aku cuti. Pada saat berhenti bicara, aku merasa lebih ringan, lebih santai—mungkin juga itu gara-gara vodka, tetapi aku gemar berpikir itu gara-gara Everett—sementara Trevor tak sadarkan diri di sofa di samping kami.

“Oh, aku harus pulang,” kataku.

“Biar kuantar,” kata Everett.

Kepalaku terasa ringan ketika kami berjalan dalam keheningan, lalu tanganku berada di tombol pintu dan dia masih ada di dekatku. Jadi, apa peraturan orang dewasa untuk ini? “Mau masuk?”

Dia tidak menjawab, tetapi mengikutiku ke dalam. Dia terpaku di dapur terbuka, yang membuka ke seluruh apartemen studioku, sebuah ruangan dengan jendela-jendela tinggi, sedangkan tirai tipis yang menggantung dari pipa-pipa menonjol memisahkan kamarku. Namun, aku bisa melihat ranjangku lewat tirai—acak-acakan, mengundang—dan aku tahu kalau dia bisa melihatnya juga.

“Wow,” katanya. Aku yakin itu gara-gara perabot. Barang-barang yang kutemukan di toko barang bekas dan pasar loak, lalu kulucuti dan kucat kembali dengan warna-warna mencolok yang serasi. “Aku merasa seperti Alice di Negeri Ajaib.”

Aku melepas sepatu, bersandar pada meja dapur. “Aku berani bertaruh sepuluh dolar kalau kau belum pernah membaca buku itu.”

Dia tersenyum dan membuka kulkasku, mengeluarkan sebotol air. “Minum aku,” katanya, dan aku tertawa.

Lalu, dia mengeluarkan kartu nama, meletakkannya di meja, membungkuk, dan mengusapkan bibirnya ke bibirku sebelum mundur. “Telepon aku,” katanya.

Dan, itu kulakukan.

Perjalanan melintasi Virginia seakan-akan tak kunjung berakhir, dengan rumah-rumah pertanian putih di perbukitan dan bundelan-bundelan jerami yang tersebar di rerumputan di sekeliling. Lalu, celah di antara pegunungan—pagar pembatas dan plang-plang peringatan untuk menyalakan lampu kabut—dan derau ketika stasiun radio terputus-putus. Semakin lama aku menyetir, rasanya semakin berkurang kecepatanku. Relativitas, pikirku.

Lajunya berbeda di tempat asalku. Orang tidak bergerak begitu cepat, tidak berubah terlalu banyak setelah lebih dari satu dekade. Cooley Ridge menahanmu agar menjadi orang yang selalu sama. Ketika meninggalkan jalan raya, menuruni rampa, dan tiba di jalan utama kota itu, aku yakin masih bisa melihat Charlie Higgins atau seseorang sepertinya bersandar pada sisi bobrok toko obat CVS. Aku yakin masih bisa melihat Christy Pote merindukan kakakku, dan kakakku berpura-pura tidak memperhatikan, walaupun mereka telah melanjutkan hidup dan menikah dengan orang lain.

Mungkin itu gara-gara kelembapannya dan betapa kami harus berjuang mengatasinya, seperti sirup yang melekat di telapak kaki, manis dan lengket. Mungkin itu karena kami tinggal begitu dekat dengan pegunungan—penciptaannya perlu waktu seribu tahun, pergeseran lambat lempeng-lempeng di bawah bumi, dengan pepohonan yang telah berada di sini semenjak aku lahir dan akan tetap ada di sini ketika aku tiada.

Mungkin itu gara-gara fakta bahwa kau tidak bisa melihat sesuatu pun di balik tempat ini, ketika kau sedang berada di dalamnya. Hanya ada pegunungan, hutan, dan dirimu. Itu saja.

Satu dekade kemudian, seratus enam puluh kilometer jauhnya, aku melintasi perbatasan negara bagiannya—Selamat Datang di North Carolina!—dan pepohonan semakin rimbun, udara semakin padat, dan aku pulang.

Pinggiran kabur berubah jelas kembali, benakku melakukan pengaturan ulang, mengingat. Hantu-hantu diri kami berubah nyata: Corinne berlari di sepanjang tepi jalanan di depanku, menjulurkan jempol, kakinya mengilap oleh keringat, roknya melayang ketika sebuah mobil memelesat terlalu dekat. Bailey menggayuti bahuku, napasnya panas oleh vodka. Atau, mungkin itu napasku.

Aku melepaskan jemariku dari kemudi. Aku ingin menjulurkan tangan dan menyentuh mereka. Ingin Corinne berbalik dan berkata, “Tenangkan dirimu, Bailey,” memandang mataku, dan tersenyum. Namun, mereka memudar terlalu cepat, sama seperti segala hal lainnya, dan yang tersisa hanyalah kepedihan merindukannya.

Satu dekade, tiga puluh kilometer jauhnya, dan aku bisa melihat rumahku. Pintu depannya. Jalan setapak rimbun dan alang-alang yang menerobos kerikil di jalanan mobil. Aku mendengar pintu kasa itu berderit membuka, lalu suara Tyler: Nic? Dan suaranya kedengaran sedikit lebih dalam daripada yang kuingat, sedikit lebih dekat.

Sudah hampir tiba.

Melewati gerbang keluar tol, berbelok ke kiri di lampu merah, trotoarnya retak-retak dan kelabu.

Sebuah plang baru saja ditancapkan di tanah di pojok, bagian dasarnya dikotori lumpur kering—pasar malam, kembali ke kota—dan ada sesuatu yang menggeletar di dadaku.

Itu CVS, dengan kelompok bocah laki-laki remaja yang berkeliaran di sisi tempat parkirnya, seperti yang dulu biasa dilakukan oleh Charlie Higgins. Itu deretan tokonya, huruf-huruf yang distensilkan di jendela-jendela itu berbeda dengan semasa aku kecil, kecuali Kelly’s Pub, yang bisa dibilang satu-satunya penanda kota. Ada gedung sekolah dasar dan, di seberang jalan, kantor polisi, dengan arsip kasus Corinne tersimpan di lemari belakang, menghimpun debu. Kubayangkan semua bukti itu dimasukkan ke kotak dan disingkirkan, menyempil di pojok, karena tak ada lagi tempat lain untuk meletakkannya. Hilang dalam kekacauan, terlupakan seiring waktu.

Kabel listrik terentang di atas kami di tepi jalan, gereja dikunjungi oleh hampir semua orang, tak peduli mereka Protestan atau tidak. Dan, di sampingnya, pekuburan. Dulu, Corinne selalu menyuruh kami menahan napas ketika berkendara melewatinya. Kedua tangan diangkat ke atas ketika melintasi rel kereta api, ciuman dilayangkan ketika lonceng-lonceng gereja berdentang dua belas kali, dan dilarang bernapas di dekat orang mati. Dia menyuruh kami melakukan itu, bahkan setelah ibuku meninggal. Seakan-akan kematian adalah takhayul, sesuatu yang bisa kami kecoh dengan melemparkan garam ke balik bahu atau menyilangkan jemari di belakang punggung.

Aku mengeluarkan ponsel di lampu merah dan menelepon Everett. Aku terhubung dengan layanan pesan suaranya, seperti yang sudah kuduga. “Berhasil,” kataku. “Aku sudah sampai.”

Rumah itu persis seperti yang kubayangkan selama sembilan jam terakhir. Jalan setapak dari jalanan mobil ke beranda depan kini dikuasai oleh halaman, mobil Daniel terparkir jauh di sisi carport di samping garasi untuk menyediakan tempat bagi mobilku, alang-alang menggores pergelangan kaki telanjangku ketika aku berjalan dari satu batu pijakan licin ke batu pijakan licin lain, kakiku melangkah berdasarkan ingatan. Pelapis tembok warna gading itu tampak lebih gelap di beberapa tempat, dan terkelantang matahari di tempat-tempat lainnya hingga aku harus menyipitkan mata ketika memandangnya secara langsung. Aku berdiri setengah jalan antara mobilku dan rumah itu, menyusun daftar di benakku: Pinjam semprotan air bertekanan tinggi, cari bocah yang punya mesin pemangkas rumput, beli beberapa pot tanaman bunga warna-warni untuk beranda ….

Aku masih menyipit, dengan tangan melindungi mata, ketika Daniel muncul dari pojok rumah.

“Kupikir aku mendengar mobilmu,” katanya. Rambutnya lebih panjang daripada yang kuingat, sedagu—sama panjangnya dengan rambutku sebelum aku pergi dari sini untuk selamanya. Dulu, dia biasa memangkas cepak rambutnya, karena dia pernah memanjangkannya dan orang-orang mengatakan dia mirip aku.

Warna rambutnya tampak lebih muda ketika tumbuh panjang—cenderung pirang daripada bukan pirang—sedangkan warna rambutku berubah lebih gelap setelah bertahun-tahun. Dia masih pucat sepertiku, dan bahu telanjangnya sudah berubah merah terang. Namun, dia lebih kurus, garis-garis keras wajahnya tampak lebih tegas. Kini, kami hampir tidak bisa disebut bersaudara kandung.

Dada Daniel ternoda kotoran, dan tangannya dilapisi tanah. Dia mengusapkan telapak tangan ke sisi celana jinsnya ketika berjalan menghampiriku.

Lihat selengkapnya