All The Things I've Done To Save You

Handi Yawan
Chapter #11

Dunia yang Hilang

“Sudah sampai?” tanya Herman.

“Jangan kecewa kalau perjalanan lintas waktu tidak seperti di film-film sains fiksi,” kata Bill menggoda Herman.

“Tapi tetap saja membuatku mual,” sanggah Herman.

“Ah, masa seorang crosser sampai mau muntah hanya gara-gara naik korsel?” timpal Jhaansen terus mencandai Herman agar perhatiannya teralih.

 Herman mendapati dirinya berada dalam sebuah hutan yang sangat lebat. Cahaya matahari sedikit sekali yang mampu menerobos kerimbunan daun-daun.

 Sementara itu, tim mulai bergerak maju. Marwan dan Herman ikut saja ke mana mereka pergi. Sekarang Marwan mengerti kenapa tim diperlengkapi dengan senjata. Di tempat seperti ini, parang menjadi berguna untuk memapas dahan-dahan yang merintangi jalan.

Terdengar riuh rendah hewan, serangga, dan burung-burung akibat terusik oleh langkah tim menerobos semak-semak. Tiba-tiba Marwan dan Herman dikejutkan oleh suara menggeram yang cukup keras.

Krosak. Krosak. Grrr ...

“Eh, suara apa itu?” tanya keduanya kompak. Alangkah kagetnya Marwan dan Herman melihat pemandangan dahsyat di depan mata mereka sehingga hanya mampu bersuara, “Hah!” 

Seekor binatang buas yang besar sedang memangsa binatang lain yang sudah tergelatak mati.

 Marwan dan Herman tidak bergerak, khawatir menarik perhatian hewan mengerikan itu. Tyranosaurus Rex yang selama ini dilihat di gambar atau film, sekarang sosoknya ada di depan mata. Secara insting Marwan dan Herman pelan-pelan berjalan mundur dan berlindung di balik sebuah pohon. Sementara itu, T-Rex rupanya tidak menyadari kedatangan rombongan dan terus melahap mangsanya. Mengerikan sekali melihat nafsu makan T-Rex yang rakus sehingga Marwan dan Herman tidak mau kehadirannya diketahui oleh hewan mengerikan itu.

 Di luar dugaan, Jhaansen malah menantang. “Lihat ini!” serunya sambil bergerak maju. Tentu saja Marwan mencegah.

“Hei, jangan!” kata Marwan berbisik mencoba menghalangi, tapi orang itu malah mencari perhatian T-Rex.

 “Yoy!” teriak Jhaansen. Tentu saja Herman dan Marwan ketakutan setengah mati! Tetapi Mr. Bill bicara ke Marwan dengan santai. “Selain pendengaran, penglihatan T-Rex buruk.” 

Namun, tetap saja Marwan tidak menjadi tentram, apalagi T-Rex datang mendekati mereka mencari tahu apa yang mengusiknya. Tanah yang dipijak oleh Marwan berguncang keras oleh langkah kaki T-Rex dan sibakan pepohonan bagai teror yang datang. Marwan menjadi mati kutu saat rahang T-Rex tepat berada di atas kepalanya. Hidungnya kembang kempis mengendus-endus Marwan. Taring-taring T-Rex yang berlumuran darah korbannya sudah membuat Marwan mengira ia mangsa selanjutnya.

 Mendadak Jhaansen yang jahil melompat mengusir T-Rex. “Huss!” sergahnya. Seketika T-Rex terkejut, lalu mengaum keras sampai membuat telinga pekak mendengarnya. Rupanya binatang itu kaget oleh ulah Jhaansen. T-Rex malah lari ke sana kemari seperti digertak orang.

 “Hus, hus. Lari, lari!” usir Jhaansen sambil mengusir T-Rex yang pergi menjauh sambil menggeram tidak senang. Lari T-Rex sangat canggung dan lamban seperti badut gendut yang kepayahan. Tentu saja Marwan dan Herman tidak habis pikir melihat T-Rex yang buas terbirit- birit kabur dari tempat itu dan meninggalkan mangsa akibat dihardik manusia.

 “Hahaha. Lucu, kan?” gelak Jhaansen yang telah berhasil membuat T-Rex kabur dari tempat itu.

 “Dewasalah, Jhaan,” tegur Mr. Bill. Jhaansen. Sadar kelakuannya sangat konyol, Jhaansen jadi merasa malu dan menghentikan aksinya.

 “Kenapa?” tanya Marwan. “T-Rex kan buas?”

 “Sebenarnya T-Rex adalah binatang pemakan bangkai,” jelas Mr. Bill sambil bergerak mengajak tim maju kembali.

Marwan dan Herman masih heran, tapi bergegas menyusul mereka.

 Ketika Herman menyibakkan sebuah dahan berdaun lebar, tampak pemandangan yang tidak kalah mengejutkan dari T-Rex tadi. Marwan dan Herman bergeming melihat panorama yang sangat memesona.

 Seekor katak yang melompat dari dahan ke dahan tidak mereka pedulikan. Bahkan beberapa unggas terbirit-birit diganggu kehadiran mereka tidak membuat mereka sedikit pun mengalihkan perhatian.

 Sebuah bangunan sebesar gunung kecil menarik perhatian Marwan dan Herman. Sebuah bangunan dengan pola punden berundak yang asimetris disusun dari batu-batu.

 “Bukankah itu, situs Gunung Padang?” tanya Marwan menegaskan.

 “Ya! Lebih hebat, ya,” jawab Made Oka.

“Kemarin kita datang malam hari, jadi tidak melihat situs ini dalam kondisi sesungguhnya. Ternyata situs ini sudah ada di zaman ini?” kata Marwan berbisik kagum.

 “Yang aku tahu, situs Gunung Padang dibangun dalam harmoni geomantik untuk tujuan religiositas berupa penyembahan Sang Hyang atau sang penguasa alam. Tetapi mengapa di zaman ini biarpun lebih megah karena belum dimakan umur, kok tetap kelihatannya sama terbengkalai?”

 

 “Bangunan itu dinamai orang zaman ini sebagai Rumah Tuhan, tetapi sepertinya sekarang ditinggalkan,” papar Mr. Bill.

 “Memangnya kenapa?” tanya Marwan.

 “Entahlah. Kami pun belum sempat menyelidiki lebih jauh,” aku Mr. Bill.

             “Aku yakin bangunan itu ditinggalkan ada kaitan dengan kepunahan di era ini,” sahut Marwan. “Tapi jangan tanya kenapa, sebab aku sendiri belum punya bukti. Ini baru dugaanku saja.”

  Mendengar hal itu, tentu saja tidak ada seorangpun yang menanggapi.

 Sementara itu sinar matahari pagi membentuk bayangan panjang di sisi mereka. Marwan memandang Rumah Tuhan yang begitu besar seolah-olah berdiri tepat di depannya. Ketika menengok ke belakang, yang ia lihat hanyalah bangunan-bangunan pencakar langit di balik rimbun pepohonan yang membiru tua karena jaraknya jauh.

 “Rumah Tuhan ini arahnya tepat ke utara?” kata Marwan sambil memperhatikan bayangan dirinya di samping kanan. “Padahal di zaman kita arahnya ke barat laut. Gunung Pangrango yang seharusnya ada di belakangku. Rupanya di zaman ini belum terbentuk.”

Marwan mulai membiasakan peta geografi bumi di otaknya dengan kondisi di zaman ini.

Lihat selengkapnya