Herman menyimpan Tempus Fugit di saku wadah kulit yang ia lilitkan di pinggang, lalu berjalan dengan mantap. Ia keluar dari mall tadi agar pikirannya menjadi lebih segar.
Ia menikmati setiap langkah di trotoar jalan selebar 10 meter di antara gedung-gedung pencakar langit. Lalu lalang kendaraan di jalan tidak dihiraukan. Namun, sejenak ia memperhatikan sesuatu di seberang jalan. Ia memutuskan untuk menyebrang, tetapi ia tahu tidak mungkin melakukan cara di zamannya. Jalan raya terlalu berbahaya untuk disebarangi karena dalam satu arah saja ada beberapa jalur kendaraan. Padahal, setiap jalannya memiliki beberapa jalur yang berlawanan arah. Semua kendaraan berbagai bentuk dan ukuran yang ia lihat tidak satu pun yang menggunakan roda, tetapi mengapung beberapa senti di atas lapisan beton.
Keluar dari gerbang selebar lima kali gawang sepak bola tidak membuat Herman canggung melihat keramaian kendaraan di depannya. Kesibukan di sini ternyata sama dengan yang ditemui sehari-hari di zamannya. Bedanya semua serba otomatis dan tidak semua orang bisa menggunakan semua kendaraan. Teknologi sidik jari yang memberikan akses setiap orang sesuai keperluannya.
Ia tidak perlu mencoba naik kendaraan karena yakin pintunya tidak akan terbuka untuknya. Bukan karena tidak ada sopir, tetapi ia memang tidak memiliki akses. Jadi ia memilih berjalan kaki saja.
Untuk pertama kalinya, Herman berjalan sendiri dan merasa lebih leluasa untuk mencari cara bagaimana harus menemukan Amanda. Ikut bersama mereka terlalu banyak aturan yang tidak boleh dilakukan.
Meskipun segala hal yang Herman lihat serba futuristik, tetapi nampak ada keteraturan. Pohon-pohon tumbuh subur di setiap sisi jalan. Bahkan ia lihat di beberapa balkon tumbuh pohon-pohonan.
Mungkin ini yang disebut taman gantung, pikirnya. Pada masing-masing gedung, ada jembatan yang saling menghubungkan satu sama lain, tetapi tidak sampai menutupi limpahan cahaya matahari pada koridor jalan sehingga kota nampak tetap asri dan menyenangkan. Trotoar tidak terlalu ramai dilalui orang berjalan. Mungkin ini bukan jam sibuk orang kerja.
Di zaman Osiris ini, orang juga bekerja nggak ya? pikir Herman lagi. Kayaknya iya, kalau melihat penampilan mereka yang menenteng koper dan pake dasi segala.
Rambu-rambu lalu lintas menggunakan simbol-simbol universal sehingga mudah dimengerti. Petunjuk arah atau keterangan tempat, fungsinya mudah diketahui hanya dengan melihat gambarnya saja.
Kemarin Herman berpikir, di zamannya sendiri yang masih kalah jauh dengan zaman Osiris, internet sudah ada. Apalagi di zaman ini yang jauh lebih maju, pasti ada internet. Ternyata benar dugaannya. Malah internet di sini gratis.
"Payah!" omel Herman. "Mereka hanyalah sekumpulan orang tua yang lemot sekaligus kuper."
Herman teringat Made Oka dan tim yang ia tinggalkan. "Aku sudah pelajari teknologi internet mereka. Ternyata mudah menggunakannya." Wajar juga Herman kesal dengan batasan-batasan yang dilakukan tim Made yang baginya sangat protektif.
Hanya dengan mencoba-coba sebentar, aku tahu ternyata internet di sini mudah dipahami fungsi-fungsi operasinya, gumam Herman dalam hati.
Sebenarnya Herman sempat menjajal teknologi internet di sini dan ternyata sistem operasinya mirip Windows. Malah search engine-nya lebih canggih. Search engine menyediakan pencarian orang dengan cara memadukan ciri-ciri umum, seperti wajah, badan, dan lain-lain lengkap dengan pilihan spesifikasi mendetail.
Beda generasi ternyata memberikan banyak perbedaan dalam menghadapi teknologi sehingga Herman yang lebih muda menjadi lebih mudah menguasai teknologi di masa ini dibandingkan Made Oka dan tim.
Seperti pada saat ini, Herman dengan mudah memadukan gambar-gambar bentuk wajah yang tersedia untuk mendapatkan anatomi wajah Amanda, lalu menyusun mata, hidung, rambut, telinga, tinggi tubuh, warna kulit dan lain-lain yang selanjutnya diolah oleh sistem. Maka hasilnya tampil sosok Amanda yang amat ia kenal. Girang sekali Herman usahanya mendapatkan hasil semudah itu. Kemudian ia mencocokan di database system.
Sayang pencocokan berjalan lama, sedangkan tim bergerak terus sehingga Herman cepat menyusul dan takut terpisah. Ia pun menunda dulu pencarian lewat internet. Sekarang ia tinggal mencari tempat yang ada akses internetnya. Tidak sulit menemukan anjungan internet di sini. Hampir setiap blok menyediakan anjungan internet gratis dan tidak perlu berebut. Ketika menemukan tempat yang cari, Herman bergegas menggunakannya.
Ia sudah bisa membuat account sendiri untuk membuat semacam e-mail dan hasil pencarian Amanda kemarin. Ia berharap sekarang sudah ada hasil. Ketika membuka inbox e-mail, ia tidak mendapatkan respon apa pun. Herman merasa kecewa, lalu log-out dan meninggalkan tempat itu.
Herman berjalan meninggalkan tempat tersebut tanpa berbekal petunjuk apa pun. Ia ikut MRT untuk mencari ke mana saja, berharap bisa menemukan sosok Amanda. Di dunia asing ini, Herman adalah gelandangan yang luntang-lantung.
Sekarang perutnya mulai terasa lapar. Makan terakhir ketika masih berkumpul bersama tim adalah kemarin malam. Selama ini, makanan yang mereka makan dan minum sebagian besar dari perbekalan. Dengan sedikit pengatahuan, sewaktu bersama tim, ia bisa barter mendapatkan point voucher yang bisa ditukar.
Walaupun merasa lapar, sulit bagi Herman membayangkan ia harus mengemis makanan. Herman pernah melihat Mr. Jhaansen meletakkan sebuah barang ke dalam kontainer. Itu ia lakukan berkali-kali sampai banyak mendapatkan point yang bisa ditukar untuk membayar minuman yang mereka nikmati. Ternyata di sini uang dalam bentuk fisik tidak diperlukan karena semua sudah serba elektronik. Apa yang dilakukan oleh Jhanseen adalah sebuah pekerjaan yang dibayar. Jadi, di sini mendapatkan pekerjaan sangat mudah asal tahu caranya.
Kali ini Herman memperhatikan sekeliling dengan saksama dan berharap ada pekerjaan yang bisa ia lakukan. Pemuda itu melihat di ujung jalan seseorang sedang memindahkan barang dari pinggir jalan ke atas sebuah truk kontainer yang berhenti di tempat-tempat yang ditentukan lalu pergi begitu saja.
Herman menyimpulkan orang itu ibarat kuli bongkar muat. Ternyata pekerjaan seperti itu ada di sekitar tempatnya. Truk yang lewat tadi adalah kendaraan pengangkut barang yang datang dan pergi secara teratur, mengantarkan barang ke alamat tujuan yang terbaca melalui QR Code.
Di stasiun-stasiun pusat, seleksi barang dilakukan secara robotik, tetapi di tempat seperti ini dilakukan secara manual. Walaupun tidak berat, tetapi saja tidak banyak yang mau melakukannya.
Herman sendiri tidak tahu, apakah karena semua sudah hidup makmur sehingga gengsi melakukan sedikit pekerjaan kasar seperti ini. Dengan demikian Herman justru jadi lebih kreatif. Ia mengambil semua box kecil dari setiap pintu rumah satu per satu untuk dikumpulkan di kontainer besar di pinggir jalan. Kontainer tersebut nantinya akan diambil oleh truk pengangkutnya.