Herman dan Amanda tahu diri bukan tempat mereka di sini. Mereka berjalan menjauhi tempat yang ditabukan untuk orang di luar kalangan pemuka adat dan pejabat penting pada waktu-waktu seperti itu.
“Ayo, kita pergi ke planetarium!” ajak Amanda dengan semangat. Herman menurut ketika tangannya ditarik oleh Amanda.
Perjalanan ke planetarium ditempuh dengan naik sepeda motor yang mereka temui di parkiran. Kali ini yang pegang stir Amanda. Herman duduk di belakang sambil memeluk pinggang Amanda. Sepeda motor berjalan lambat karena mereka merasa sayang melewatkan tempat-tempat indah seperti ini.
Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit karena harus berkeliling mengikuti jalur. Herman berpasrah mau dibawa lewat jalur mana untuk menuju ke sana. Amanda sudah hafal arah yang harus ditempuh. Masih banyak panitia yang bercampur dengan para pemuka adat di jalan menuju planetarium. Sesekali Amanda menyapa sesama panitia yang dikenalnya.
Herman baru mengerti planetarium yang dimaksud ternyata Piramida Khufu.
“Di sini namanya Ibin Tuk,” jelas Amanda. Kata 'Ibin Tuk' berarti planetarium juga. “Kedua piramida lainnya bernama Ibin Theti dan Ibin Bok." Amanda menjelaskan pula fungsi masing-masing bangunan besar berbentuk piramid ini.
Setelah tiba di tempat parkiran, Amanda memarkirkan sepeda motor itu lalu berjalan bersama Herman ke pintu masuk Ibin Tuk.
“Pintu masuk ini di zaman kita jauh terkubur di dalam tanah,” kata Amanda.
“Kalau begitu, sesungguhnya piramida-piramida ini lebih tinggi daripada yang kita lihat di zaman kita,” tanya Herman. Amanda mengangguk membenarkan kesimpulan Herman.
“Biasanya Ibin Tuk terbuka untuk umum setiap hari, kecuali di waktu istimewa seperti ini. Kita bisa bebas masuk karena penjaga akan mengira kita sedang kontrol persediaan logistik di sini.”
Amanda menyapa dua orang sekuriti yang berjaga di pos pintu masuk. Kedua sekuriti mengenali Amanda lalu membalas sapaan Amanda dan membiarkan kedua orang itu masuk.
Setelah melewati pintu masuk, Amanda mengajak Herman melangkah ke atas sebuah troli. Troli berbentuk cakram mengapung bersama troli-troli lainnya di tempat itu. Troli yang diinjak Amanda dan Herman memiliki tiang untuk pegangan dan berfungsi untuk mengarahkan laju troli.
Herman ikut ke mana saja Amanda mengarahkan troli karena kekasihnya sudah mahir menggunakan kendaraan itu.
“Untung ada troli anti gravitasi,” ujar Herman. "Bisa dibayangkan bila mengelilingi area seluas Ibin Tuk dilakukan berjalan kaki saja. Akan butuh waktu berapa hari? Belum capeknya."
Di sepanjang koridor yang panjangnya mencapai ratusan meter, setiap dinding dipahat sebuah relief. Seluruh bangunan Ibin Tuk dibuat dari susunan marmer yang halus, licin, dan mengilat. Keindahan interior Ibin Tuk menjadi sempurna oleh tata cahaya yang harmonis sehingga tampak sangat megah dan membuat betah berlama-lama menikmati semuanya.
“Relief-relief ini menggambarkan sejarah panjang dunia Osiris selama jutaan tahun,” jelas Amanda melihat Herman tidak melepaskan pandangan mengamati gambar-gambar pada relief itu. Relief-relief itu menggambarkan masyarakat berkulit hitam yang mengisi bumi masa ini.
Amanda mengangguk sambil terus mengamati diorama dengan takjub.
Sambil mengamati relief-relief, Herman terus memberikan informasi kepada Amanda. Lama-kelamaan, Herman geleng-geleng kepala oleh omongannya sendiri tentang pengetahuan ini.
"Lalu bagaimana semula bangsa Israel sesungguhnya berkulit hitam, sekarang identik berkulit putih?" tanya Amanda.
"Pada tahun 1976, Arthur Koestler, seorang Ashkenazi [1], menulis buku tentang bangsa Khazar yang disebutnya sebagai suku ke-13 Yahudi karena sebagian besar penduduk Khazaria beragama Yahudi," sahut Herman. "Dalam buku itu ditulis bahwa tahun 1948 adalah sejarah baru bagi kaum Yahudi, baik yang asli keturunan Bani Israel sebanyak 5%, maupun yang keturunan baru bangsa Khazar sebanyak 95%. Mereka berhasil mengklaim kepemilikan Yerusalem.
"Wajah Yahudi yang sebenarnya jauh berbeda dengan golongan Yahudi yang kita kenal hari ini. Bani Israel yang sebenarnya berkulit gelap. Pendeknya, kesimpulan pada buku Koestler itu, pada tahun 740 M, diperkirakan jumlah penduduk Khazar saat itu 1,4 juta dan bangsa Yahudi sekitar 50.000 orang. Inilah salah satu jawaban kenapa tiba-tiba bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat sedikit, tiba-tiba jumlahnya mencapai jutaan saat perang dunia kedua. Hal itu karena mereka sudah bercampur dengan bangsa Khazar."
"Jadi inilah penjelasannya bahwa relief pada piramid-piramid ini menggambarkan sebuah bangsa yang berkulit hitam dan kita kenal sebagai bangsa Israel," sahut Amanda sambil mengangguk-angguk.
“Butuh waktu lama untuk memahami sejarah mereka.” Herman berdecak kagum pada pemandangan di depan matanya. “Aku yakin relief-relief ini bukan dipahat dengan perkakas tukang seperti yang kita duga!”
“Ya, iyalah,” sahut Amanda. “Para senimanlah yang memahatnya dan telah menggabungkan karya seni dengan teknologi laser sehingga hasilnya seperti ini.”
Akhirnya, perjalanan mereka sampai pada Episentrum. Di ruangan yang lebih luas daripada lapangan sepak bola ini, Herman melihat banyak benda-benda diorama yang menjelaskan konstelasi bintang-bintang, planet-planet, dan benda-benda angkasa lain menggunakan teknologi tinggi yang belum pernah Herman dan Amanda lihat sehingga seolah-olah mereka benar-benar berada di antara benda-benda tersebut. Dengan penggambaran demikian, Herman bukannya semakin mudah mengerti sistem yang mengatur pergerakan benda-benda angkasa di alam semesta, tetapi justru semakin banyak pertanyaan di benaknya. Ia mengerti karena sains di sini jauh lebih maju dibanding dengan zaman di dunia mereka.
“Kalo yang bergerak mondar-mandir itu apa?” tanya Herman menunjuk beberapa bola yang bercahaya dan selalu bergerak ke mana saja, tidak seperti benda-benda angkasa lainnya yang memiliki orbit masing-masing. Herman menghitung ada delapan buah bola-bola cemerlang yang berekor cahaya itu.
“Itu menggambarkan komet-komet!” jelas Amanda. “Tempo hari aku tanyakan juga ke pemandu wisatanya. Ternyata komet tidak memiliki orbit dan ia bergerak bebas di alam semesta ini."
Mendengar keterangan itu, Herman mengambil catatan di sakunya, lalu ia mencari sebuah halaman. Setelah ia menemukan yang dicari, ia membacanya. Sesaat kemudian ia, taruh kembali buku mungilnya ke saku.
"Persis seperti yang dikatakan oleh Prof. Marwan. Komet yang sering kelihatan bergerak di antara jutaan bintang biasanya bukan muncul dari arah timur. Tapi bukankah komet itu kecil dibandingkan matahari?” ujar Herman dengan penasaran.
“Banyak yang belum kita ketahui sebenarnya wujud komet itu seperti apa? Tapi di sini jelas terlihat besarnya komet ternyata lebih besar dari sebuah sistem tatasurya.”
Herman mengangguk-angguk sambil mengamati bola-bola api yang bercahaya warna-warni itu bergerak ke sana kemari melampaui bintang-bintang.
Setelah berlama-lama di tempat itu, lalu Amanda mengarahkan troli bergerak lebih jauh ke sisi lain di ruangan. Di sini, atap ruangan memaparkan pemandangan langit dengan pandang mata langsung ke luar. Herman diminta melihat langit lewat teropong bintang ultra modern. Ia yang tadinya agak terheran-heran mulai mengerti maksud Amanda setelah langit malam terbentang di atasnya.