“Sesungguhnya Mesir Kuno bukanlah sebuah bangsa,” tegas Prof. Marwan. “Mesir Kuno adalah sebuah dunia, dunia yang sama seperti sekarang kita tempati. Perbedaannya pada periode waktunya. Kita hidup sekarang, dan Mesir Kuno adalah dunia sebelum periode kita. Kalender berusia 2.000 tahun ini lebih akurat dibanding Kalender Gregorian. Sekali lagi saya katakan, saya setuju. Dunia pada periode itu memakai penanggalan Lunar, dan itu menjelaskan dunia Mesir Kuno menggambarkan iklim yang berbeda dengan masa sekarang. Masa Mesir Kuno tidak mengenal musim seperti perhitungan Kalender Gregorian yang setiap satu abad sekali berkurang waktu musimnya. Akhirnya ada satu masa iklim di dunia sekarang kembali menjadi seperti zaman Mesir Kuno yang tidak mengenal musim! Apa yang dikatakan oleh para ahli bahwa pada hari itu, tepatnya musim dingin tiba, matahari akan bergabung lagi dengan titik silang yang terbentuk akibat ekliptika dengan ekuator secara total. Sebenarnya pada masa Mesir Kuno itu demikianlah gerak edar bumi terhadap matahari yang senantiasa berada pada garis ekliptiknya! Pada waktu itu, belahan utara bumi tidak berada di titik terjauh dari matahari sesuai dengan Axial-tilt, karena bumi selalu membentuk segitiga sama sisi dengan matahari sebagai titik pusatnya. Orbit bumi terhadap matahari senantiasa sejajar pada garis ekuator bumi, sehingga tidak dikenal pergantian musim seperti periode sekarang.”
Mendengar uraian itu, Mr. Kourtney, Mr. Abdelhak, Sonia, dan semua orang yang ada di studio tidak mampu berbicara apa-apa, terdiam dan seolah kehilangan kata-kata sanggahan.
Namun, Sonia tidak membuang-buang waktu. “Jadi bisa saya simpulkan bahwa Sphinx dan piramid-piramid di Mesir itu, menurut Anda adalah peninggalan peradaban dari masa Pliosen! Lalu apa yang menyebabkan iklim berubah seperti sekarang?” tanya Sonia yang akhirnya mampu menguasai diri kembali dengan cepat.
“Itulah inti pembicaraan kita,” tegas Prof. Marwan. “Perubahan iklim yang ekstrem dan tiba-tiba inilah yang mengakibatkan Mesir Kuno lenyap dari muka bumi ini. Selama ini saya tertarik pada suatu lambang yang umumnya ditemukan di seluruh wilayah Amerika Utara dan Selatan. Banyak kebudayaan Indian yang terkait dengan legenda air bah, biasanya dikaitkan dengan seekor naga. Tema umum pada citranya, makhluk panjang yang sering digambarkan merupakan gambaran dari objek yang dilihat pengukir batu di langit. Hal tidak biasa yang banyak dikaitkan oleh manusia prasejarah dengan suatu bencana dahsyat, apalagi kalau bukan naga dari langit? Bila melihat seekor naga, pasti kita juga bisa melihat ekor panjangnya itu, mirip hiasan kepala pada ujung belakangnya atau bahkan mirip tanduk. Setidaknya itulah imajinasi masyarakat prasejarah. Berdasarkan mitologi, jelas ada suatu cerita mengenai suatu memori kolektif akibat timbulnya sebuah bencana banjir besar.”
“Prof. Marwan,” tanya Mr. Kourtney yang suaranya terdengar bernada sindiran. “Apakah Anda tidak tahu bahwa naga hanyalah mitos? Yang benar saja sebuah mitos mau dimasukkan ke dalam kurikulum IPA?"
"Mungkin Anda sudah lupa pelajaran IPA waktu high school,” tambah Mr. Abdelhak.
Mendengar kalimat ini, seluruh hadirin tertawa geli.
***
Kenangan yang sangat berkesan itu berakhir ibarat tontonan komedi. Tetapi ada sebuah pernyataan dari Prof. Marwan yang terbukti benar! Tahun 2012 telah lewat dan kiamat ramalan para pakar ilmu pengetahuan tidak terjadi.
Sejak acara itulah karier Sonia semakin cemerlang membawakan acara-acara sains yang biasanya membosankan.