Mataku menangkap setiap gerakan orang-orang yang lewat lalu lalang di sekitar kami. Tua, muda, laki-laki, perempuan. Satu per satu gambaran wajah mereka terekam dalam kepalaku. Tidak ada wajah-wajah familiar. Apa yang aku harapkan? Bertemu seseorang yang kukenal di tengah Kota Tua yang super padat sama seperti berharap mencari jarum di tumpukan jerami.
Aku melanjutkan berjalan berkeliling sambil masih memperhatikan setiap orang yang lewat. Stefani tidak sadar kalau aku sama sekali tidak mengindahkan orang-orang dalam balutan kostum di kanan kiri kami. Sementara kami berjalan terus, terlihat ada beberapa bapak berusia paruh baya yang duduk lesehan berjejer di seberang deretan cafe di dalam area Kota Tua ini. Mereka menjajakan jasa ramal garis tangan. Bukan tipikalku untuk mempercayai ramalan. Hal-hal semacam itu menurutku hanya basa-basi. Hal-hal yang dikatakan peramal adalah hal yang kemungkinan besar tidak akan terjadi. Mereka hanya ingin membuatmu senang atau takut, itu saja. Tidak ada dalam kamus seorang Indra untuk pergi ke seorang peramal dan memintanya membacakan nasibnya. Itu konyol. Nasib dan takdir hanya bisa dikendalikan oleh diri kita sendiri. Dan itu misteri. Tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Tuhan. Tapi, kali ini berbeda. Ada rasa ingin tahu yang luar biasa.
Dengan langkah santai aku berjalan menuju deretan peramal yang mulai memanggil-manggilku. Seketika aku menjadi seperti orang penting, yang kehadirannya dinantikan mereka. Ada satu bapak yang terlihat paling sepuh diantara yang lain. Kuputuskan untuk memintanya membacakan hidupku. Simbah, aku memanggilnya. Kerutan di wajahnya sudah sangat banyak, kulitnya sawo matang. Simbah ini mengenakan blangkon dan baju kemeja batik bermotif larangan.
Stefani yang mengikutiku mengerutkan dahi kebingungan.
"Kamu mau ngapain, Ndra?" tangannya menarikku untuk menjauhi lapak peramal tersebut. Tangan kiriku secara spontan melepaskan genggaman tangannya dari tangan kananku.
"Aku cuma pengen tahu. That's all." Kini aku tak peduli apakah dia setuju atau tidak. Aku tetap meminta simbah itu membacakan hidupku. Aku duduk di tikarnya dan dia mengambil telapak tangan kananku, menelitinya dengan saksama. Stefani hanya berdiri di luar tikar dengan kedua tangan dilipat di dada, tidak tertarik pada apa yang kulakukan.
Setelah beberapa saat, simbah itu melepaskan telapak tangan kananku. Dia tidak langsung berbicara. Matanya tertuju lurus ke depan, dahinya yang berkerut semakin menambah jumlah kerutan di wajahnya. Dia tampak berpikir keras seolah seperti bingung harus berkata apa. Di sisinya aku menunggu dengan harap harap cemas. Apakah aku akan mati dalam waktu dekat? Tidak, itu konyol. Apakah aku akan mengecewakan Stefani? Akan ada penyakit mematikan yang menimpaku? Kecelakaan?
"Mas..." Simbah akhirnya angkat bicara. Jantungku semakin berdebar kencang menunggu setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. "Kamu harus memutuskan pilihanmu."