All the Way to You

judea
Chapter #3

Rina

Pikiran itu sangat menggodaku. Kuputuskan untuk mencoba men-stalking akun Instagram Indra. Dengan jantung yang berdebar dan sedikit berkeringat dingin, aku memantapkan hati jika akan melihat banyak foto Indra dengan perempuan itu beterbaran menghiasi halaman akun Instagramnya. Namun ternyata faktanya tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Indra masih saja Indra. Tidak banyak memposting foto tentang aktivitas dan kesehariannya. Keningku berkerut, kecewa karena apa yang kutakutkan tidak terjadi, tapi sekaligus lega karena artinya aku tidak perlu melihat wajah perempuan itu di akun Instagramnya.

Postingan hanya ada 276 foto dan foto terakhirnya dua bulan lalu. Hanya foto sebuah bangunan bertingkat dua seperti ruko yang didesain dengan banyak modifikasi. Keingintahuanku membawaku lebih jauh lagi men-scroll ke bawah, bawah, dan bawah sampai terhenti di satu foto. Foto yang di-upload tahun 2015. Foto Indra bersamaku di halaman kampus, merayakan suksesnya acara kepanitiaan yang aku ketuai. Foto itu juga satu-satunya foto kami berdua yang di-upload-nya ke media sosial. Kadang keengganannya memamerkan kemesraan dan kebersamaan kami membuatku kesal dan iri dengan teman-temanku yang dengan mudahnya memamerkan kebersamaan mereka dengan pacar mereka.

Mataku masih memperhatikan ekspresi kami berdua yang terekam jelas di foto itu. Senyumku yang mengembang sempurna, bangga, dan merasa sangat dicintai pada saat itu karena Indra secara tiba-tiba datang memberi surprise dengan membawakan bouquet bunga mawar atas suksesnya acara yang aku ketuai. Dia memang tipikal orang yang cukup romantis dalam mengekspresikan rasa sayangnya. Dengan senyumku yang mengembang lebar terekam di foto itu, tak terbantahkan lagi kalau aku sangat bahagia. I was happy. Bersamanya selalu membuatku bahagia, bahkan meskipun kami sedang saling marah pun berada di sampingnya tetap terasa berbeda. Rasanya seperti ada ketenangan dan kenyamanan yang melingkupiku. Dan, Indra? Dia juga tak kalah bahagia. Senyum dan tawanya tercetak jelas di foto itu. Dia berdiri tepat di sampingku sambil sambil merangkul bahuku. Ah, kenapa juga dia masih menyimpan foto ini? Batinku bergejolak. Setelah dua tahun tak pernah memperhatikan isi Instagram miliknya, dan sekarang aku masih mendapati dia menyimpan foto kami. Apakah dia masih ada perasaan padaku?

Aku menghela napas panjang. Apa sih yang aku pikirkan sampai bisa berpikir seperti ini? Indra sudah milik orang lain, dan dia tidak mungkin masih menyimpan perasaan padaku. Kalimat itu mungkin terkesan meyakinkan awalnya, tapi sedetik kemudian aku meragukannya.

“Rin!”

Suara Albert yang keras menyadarkanku dari lamunanku tentang Indra. Kulihat sosok Albert yang berjalan mendekat ke arahku. Cepat-cepat ku tutup aplikasi Instagram yang sedang kubuka. Nanti malam kulanjutkan lagi, pikirku.

“Sendirian aja?” Dia langsung menarik kursi di depanku. Senyumnya terlihat riang sekali.

“Iya. Nira hari ini nggak masuk.”

Albert tertawa kecil. “Gimana nih weekend ini? Jadi nongkrong?”

Keningku berkerut. Aku tidak sedang dalam mood untuk pergi bersama Albert, tapi aku pun merasa tidak enak menolaknya.

“Kok diam?” kini gentian kening Albert yang berkerut.

“Aku usahakan, ya?” Aku menggigit bibir bawahku, berharap pria berkemeja biru muda di hadapanku ini tidak merasa kecewa. Ini sudah kesekian kalinya aku menolak ajakannya untuk pergi. Rasanya aku seperti sudah tidak punya muka lagi di hadapannya. Aku yakin orang-orang menganggap Albert bodoh. Kenapa juga dia harus menghabiskan waktunya mengejar seorang Rina yang keras kepala dan super jual mahal? Hanya diajak nongkrong saja susah! Seorang Rina yang tidak mau membuka diri pada seorang Albert, dan selalu punya berjuta alasan yang takkan habis untuk menolak setiap ajakannya. Bah! Aku yakin orang-orang juga tidak kalah getolnya membicarakanku. Rina dan Albert adalah trending topic yang diam-diam diminati setiap mulut di kantor kami untuk diperbincangkan lagi dan lagi. Aku bisa merasakannya setiap setelah Albert menemuiku di kantin saat jam makan siang atau waktu aku ke mejanya untuk membahas urusan pekerjaan. Semua sorot mata itu seperti kamera para wartawan dan netizen yang siap mengklik-klik setiap adegan yang kami mainkan dan merekam setiap percakapan kami.

Lihat selengkapnya