Stefani berjongkok di depan Chiko sambil memberinya makan. Chiko terlihat jauh lebih sehat setelah seminggu yang lalu sempat sakit flu dan demam. Dia melahap dogfood yang diberikan Stefani dengan semangat, cenderung rakus sebenarnya. Sesekali Stefani menggodanya dengan menyembunyikan potongan-potongan dogfood itu di balik punggungnya. Chiko yang polos, atau mungkin mudah dibodohi lebih tepatnya, akan kebingungan dan memasang wajah memelas. Melihat reaksi Chiko yang menggemaskan akan membuat Stefani tertawa terkekeh-kekeh, lalu mengeluarkan dogfood yang dia sembunyikan, dan menyuapi Chiko kembali. Melihat wajahnya yang begitu ceria dan bahagia membuatku tak sampai hati untuk mengatakan isi hatiku padanya. Aku berniat mengatakan pada Stefani kalau bayangan Rina menghantuiku dan aku berniat menghubunginya, tapi aku justru takut itu akan melukai perasaan Stefani. Selain itu, aku bisa terlihat lemah karena masih dihantui oleh bayangan mantanku itu.
“Ndra!”
Suara Stefani membangunkanku dari lamunan dalam soal Rina.
“Ndra, sini dong. Hahaha.” Stefani terduduk sambil tertawa karena Chiko mulai menjilat-jilati wajahnya. “Tolong aku, Chiko menyerangku. Hahaha.”
Aku tak beranjak dari kursi teras rumah kos. Aku hanya duduk menonton mereka berdua sambil tersenyum. Melihatku bertindak aneh membuat raut wajah Stefani berubah. Dia cepat-cepat berdiri dan membiarkan Chiko berputar-putar di sekitar kakinya, masih memberikan kode untuk bermain. Stefani mengabaikan Chiko dan menghampiriku.
“Kamu kenapa?”
Aku menggeleng. Bagaimana aku harus memulainya? Melihat wajahnya yang begitu mengkhawatirkan keadaanku membuatku semakin tidak tega. It’s gonna hurt.
Stefani menghela napas panjang dan menggenggam tanganku. Chiko ikut-ikutan saja mengendus-endus tangan kami berdua, seolah cemburu karena tidak ada yang menggubrisnya. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Chiko!” Stefani menginstruksikan Chiko untuk duduk tenang. Kali ini dia sepertinya pasrah dan menurut. “Good boy.” Usapan lembut penuh kasih saying mendarat di tubuh Chiko yang berbulu lembut. Chiko membalas dengan mengibas-ibaskan ekornya.
“Kuperhatikan kamu kayak sedang memikirkan sesuatu… Maksudku, sejak pulang dari Kota Tua.” Keresahan menyelimutinya. Aku tahu. Aku bisa menangkapnya dari gerakan tangannya yang tidak bisa berhenti membolak-balikkan telapak tangan. Dengan berusaha tetap tenang, kuusap lembut kedua tangannya.
“Jangan khawatir.” Kupaksakan tersenyum serelaks mungkin. Ya Tuhan, bagaimana aku harus mengatakannya?