All the Way to You

judea
Chapter #8

Indra

Bayangan wajah Stefani masih menghantuiku. Matanya yang merah terbelalak, kulit wajahnya yang berwarna putih bercampur kemerahan karena luapan perasaan dan berderai air mata, dan masih bisa kurasakan tangannya yang terasa dingin di tanganku. Beberapa hari sudah berlalu, tapi bayangan wajah Stefani yang kalut waktu itu masih menghantuiku dengan sangat jelas. Itu adalah salah satu adegan yang paling mengerikan yang tidak ingin kualami lagi. Melihatnya menangis tersakiti sama saja seperti melihat Ibuku yang menangis di hadapanku. Sejak kejadian itu, Stefani jadi sedikit berubah. Aku menyadari dia lebih banyak diam. Kami masih berkomunikasi, tapi dia tidak seantusias dulu. Berkali-kali aku meminta maaf padanya. Dia bilang dia sudah memaafkanku, tapi dia butuh waktu. Aku tahu. Perempuan butuh waktu untuk mengembalikan perasaan mereka dan menenangkan diri. Hanya saja, entah kenapa, kali ini aku sangat tidak sabar dengan sikapnya. Biasanya aku akan membiarkannya kembali seperti biasa dengan santai, tapi kali ini aku merasa sangat resah. Secuil rasa takut menghantuiku. Bagaimana jika dia memutuskan untuk meninggalkanku sama seperti Rina?

Kusandarkan punggungku pada sandaran kursi kerja. Ah… semua tentang cinta memang tak ada habisnya. Kulirik sekeliling ruangan kantorku. Beberapa orang sudah keluar ruangan cepat-cepat. Sudah jam istirahat tapi aku tidak merasa lapar. Kembali kusibukan diriku untuk mengerjakan deadline hari ini saat Roy berjalan ke arah mejaku. Seperti biasa dia pasti akan menawarkan kopi.

“Kopi, bro?” Senyumnya yang sumringah selalu terpampang saat menawarkan kopi, memamerkan deretan giginya yang mulai menguning akibat terlalu banyak konsumsi kafein dan rokok. Yap, dia adalah coffee-and-smoke addict. Kebiasaan dan hobinya adalah ngopi, lalu pergi keluar untuk merokok. Sehari bahkan bisa menghabiskan 3-4 gelas kopi ditambah 1-2 bungkus rokok.

Aku menggeleng sambil tersenyum tipis.

Tumben, lu!” Dia menepuk bahuku dengan agak keras. Dia biasa melakukannya saat aku menolak atau enggan mengorder kopi, tapi tak tahu kenapa kali ini tepukannya di bahuku terasa menyakitkan dan menyebalkan.

Dengan mengusap bahu sambil nyengir, aku merintih kesakitan. “Sakit, bos…”

“Yaelah, gitu doang. Lemah lu!”

Aku tak menanggapi ejekannya. The unusual version of me. Dan rupanya Roy menyadari hal itu.

“Eh, kenapa, sih? Lemes banget kayaknya. Lu sakit?” Kini dia menarik kursi agar bisa duduk di sebelahku. “Ada apa? Sini sini cerita sama Roy.” Dengan bangga dia menepuk dadanya.

“Gaya lu, Roy! Masih jomblo juga, sok sok-an.” Dia berhasil membuatku terkekeh geli. Memang Roy ini harus diacungi jempol untuk usaha dan keberhasilannya dalam membuat orang terkekeh. “Udah, ah, ayo cari makan aja. Jangan ngopi melulu.”

Dia menengadah melihatku yang tiba-tiba beranjak pergi dari kursi. Mulutnya terbuka dan tertutup seperti ikan yang kelaparan. Wajahnya yang sok kebingungan semakin membuat geli.

“Lho, meskipun jomblo begini, gua bisa kasih saran buat kalian semua yang udah punya cewek,” sahutnya dengan bangga, lalu kami berdua meninggalkan ruangan kerja.

***

Lihat selengkapnya