All the Way to You

judea
Chapter #12

Indra

Pikiranku mengembara ke mana saja mereka mau. Mereka tak mau dikendalikan. Aku terus berteriak memanggil mereka untuk kembali, memohon-mohon agar mereka kembali ke tempat yang seharusnya agar tidak menyiksaku. Tapi pikiran-pikiranku ternyata jauh lebih bandel dibandingkan Chiko. Kini mereka mulai mengambil alih. Mereka ingin menguasaiku, dan selamat! They did it. Mereka berhasil membuatku kembali terbaring seperti zombie di atas tempat tidur. Mataku sudah sangat lelah, begitu juga dengan tubuhku yang ingin segera berpindah ke mode istirahat. Namun, pikiran ini tak rela membiarkan semuanya beristirahat. Seolah-olah pikiran ini meminta tubuhku tetap terjaga demi menemaninya.

Berhari-hari sudah berlalu sejak chat pertama kami di Instagram. Kalau boleh jujur waktu itu aku hanya basa basi meminta nomornya. Aku masih menyimpan nomornya, bahkan setelah kami putus. Hanya saja aku tidak ingin terkesan aku masih mengingat-ingat dirinya dan masa lalu kami. Meskipun namanya sudah ada di dalam kontak Whatsapp, aku masih tak mempunyai secuil keberanian untuk menghubunginya. Aku terus merasa kesal dengan diriku yang pengecut. Kenapa butuh waktu lama untukku mengumpulkan nyali? Setiap pagi aku terbangun dengan wajah kuyu. Kepalaku pening. Warna hitam mulai menghiasi bagian bawah dan sekitar mataku. Perpaduan antara mata panda, wajah kuyu, dan gerakan zombie berkombinasi dengan sempurna dalam diriku. Insomnia ini terus menyiksaku setiap malam. Di sisi lain, hal yang cukup mengejutkan buatku adalah fakta bahwa Stefani tidak terlihat curiga atau berubah sikap sedikitpun. Semuanya berjalan normal seperti biasanya, seperti sebelum diriku dihantui oleh bayangan mantanku itu. Suatu kali, dia pernah menghubungiku melalui video call karena melihatku masih online malam-malam, tapi tak kunjung membalas pesannya. Jangan tanya apa yang aku lakukan. Tentu saja aku tidak menjawab panggilannya. Dengan jahat aku membiarkannya. Aku memang jahat. Bahkan kata-kata itu tidak layak untuk mendeskripsikan sifatku padanya.

Usaha mengendalikan pikiran sama saja dengan usaha menjaring angin. Tidak berguna, tidak akan berhasil, mustahil. Aku mengepalkan kedua tanganku sambil meringkuk di atas tempat tidur. Sebagian tubuhku tertutup selimut. Aku menarik selimut itu sampai menutupi kepalaku, berharap dengan begitu aku akan tertidur dengan mudah. Kenyataannya sama saja.

Kendalikan pikiranmu. Jika tidak, pikiranmu yang akan mengendalikanmu.

Kata-kata Rina terdengar jelas di telingaku, membuatku terduduk dengan panik setelah membuang selimut yang menutupi tubuhku. Bulukudukku berdiri tegak merinding. Aku bisa merasakan rambutku acak-acakan dan aku berkeringat. Perlahan tapi pasti aku berhasil mengembalikan kembali kesadaranku. Aku merasa konyol. Aku merasa sangat payah. Logikaku berkata aku tidak bisa berada dalam kondisi seperti ini terus-menerus. Kalau begini terus aku bisa gila. Kuatur napasku sampai teratur. Mau tidak mau aku harus berdamai dengan keadaanku. Apa yang aku inginkan saat ini? Menghubungi Rina, jawabannya. Maka itulah yang seharusnya kulakukan. Tidak akan terjadi apa-apa. Jika dia tidak memberikan balasan, aku bertekad tidak akan menghubunginya lagi dan melupakan semua ini. As simple as that! Baiklah, kataku dalam hati. Sekuat tenaga aku mengumpulkan seluruh sisa-sisa keberanian yang masih ada di dalam diriku. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil ponselku di dalam laci meja. Jam satu pagi. Keraguan menyergap diriku lagi. Tidak, aku tidak boleh menyerah pada keraguan. Aku membulatkan tekad menghubungi Rina malam itu.

Ini akan menjadi chat Whatsapp pertama kami setelah dua tahun berpisah tanpa kabar. Butuh beberapa menit sampai akhirnya aku mengirimkan chatku itu. Mengetik dan menghapus, mengetik ulang dan menghapus lagi sampai beberapa kali. Rasanya seperti kembali ke masa-masa SMP dulu, ketika kau sedang PDKT dengan anak sekelas. Kau harus mencari kata-kata yang tepat dan benar agar tidak terkesan mengganggunya apalagi terkesan nyosor dan ngarep.

Malam, Rin 01.11

Sori ganggu malam-malam 01.11

Aku baru inget besok aku mau ke coffee shop di dekat Foodie 01.11

Kalo ga sibuk, boleh ketemu ya. 01.11

Aku memberikan beberapa menit untuk menunggu. Lima belas menit untuk menunggu sudah cukup, menurutku. Kutunggu balasan dari Rina sambil berbaring di atas tempat tidur kembali. Harapan yang aneh, ujarku dalam hati. Kini diriku sendiri menertawakanku. Rina tidak mungkin masih terjaga di tengah malam seperti ini. Untuk apa aku mengharapkan balasan darinya? Just leave it, Ndra. Tapi begitulah diriku. Aku sudah tahu kalau Rina tidak mungkin membalas chatku di tengah malam begini, tapi aku masih kekeuh menunggu. Menunggu dalam diam dan sunyinya malam… sampai malam dingin ini berganti dengan pagi yang cerah dengan sinar mentari yang menyapa penuh rasa sayang persahabatan.

***

Ini bukan rahasia sehingga kuputuskan Stefani wajib mengetahuinya. Aku mengatakan padanya kalau aku akan menemui Rina di coffee shop dekat kantornya. Seperti tebakanku, Stefani tidak keberatan dan malah terdengar mendukung apa yang akan kulakukan.

Lihat selengkapnya