Tak kusangka aku melihatnya sedekat ini. Laki-laki yang pernah kucintai, kusayang, kubenci, dan ternyata masih kurindukan sampai detik ini. Sulit dipercaya kalau kini kami duduk berhadapan. Dari yang bisa kulihat, dia terlihat gugup sekali. Mungkin dia masih merasa bersalah karena kejadian dua tahun lalu… Namun, terlepas dari kegugupannya, dia masih terlihat sama seperti dia yang dulu. Indra yang dulu, yang pernah kumiliki. Aku penasaran bagaimana perasaannya padaku saat ini? Apakah dia merasakan rindu yang sama dengan yang aku rasakan? Sudahlah, Rina… Jangan terlalu banyak berharap. Dia sudah ada yang punya. Ingat tujuanmu menemuinya.
“Jadi, gimana kabarmu, Ndra?” Aku mengaduk-aduk Americano milikku tanpa melepaskan sedikitpun tatapan mata dari matanya. Dia terlihat salah tingkah. Beberapa kali dia membenarkan posisi duduknya, tipikal seorang Indra di saat rasa gugup melanda dirinya. Dia tidak berubah banyak. Masih dengan potongan rambut berponi samping yang sama, kulit yang masih sawo matang, dan suka mengenakan kaos polo untuk pergi nongkrong. Namun, Indra yang sedang sibuk menikmati coffee latte di hadapanku terlihat lebih berisi. Kalau boleh kutebak, berat badannya pasti naik sekitar lima kilo. Pipinya kelihatan lebih chubby.
“Baik, Rina. Sibuk lembur kerja kayak dulu di Jogja. Hahaha.”
Indra memang manusia lembur. Kalau tidak lembur sepertinya ada yang aneh, dan bukan tipikal Indra banget.
“Oh,” ujarku singkat. Obrolan kami menjadi awkward. Aku sudah kehabisan kata-kata. Oh, Tuhan… bantulah aku saat ini. Sebenarnya aku pun sangat gugup. Hanya saja aku lebih pandai menyembunyikannya dibandingkan Indra. Namun, diriku tetap saja tidak bisa menepis rasa gugup yang menjalari setiap nadiku.
“Gimana kerjaan kamu? Udah lama di Jakarta?” Suara Indra memecah keheningan yang canggung diantara kami, dan aku bersyukur karenanya.
“Belum lama, sih… Mungkin hampir delapan bulan. Belum genap setahun di sini.”
“Kaget ya waktu pindah ke sini?”
Aku mengangguk, membenarkan pertanyaan sekaligus pernyataannya.