Sudah sampai kos, Rin? 22.46
Whatsapp Rina hanya centang satu. Aku mendengus kecewa. Kutunggu balasan darinya, tapi ternyata sama saja dengan memberi harapan palsu pada diriku sendiri. Beberapa menit berlalu dan aku masih terus gelisah memeriksa ponselku berkali-kali. Bahkan ketika tak ada pesan masuk pun aku berhalusinasi dan merasa ada pesan baru yang masuk. Mirisnya aku mengabaikan pesannya dari tadi. Pesan dari Stefani. Melihat namanya yang terus bertengger di daftar chat Whatsapp membuatku resah dan tidak betah. Namanya yang tertera di sana terasa menyebalkan. Entah atas alasan apa, rasanya sungguh menggangguku. Namanya mengusik pikiranku. Padahal dia adalah perempuan yang kucintai. Dia adalah Stefani. Aku tersadar bahwa aku salah telah mengabaikannya. Dia berhak khawatir dan menuntut perhatian dariku. Aku terlalu egois, sibuk menghidupkan dunia masa laluku dan tenggelam di dalamnya. Dengan penuh rasa bersalah aku membaca pesan dari Stefani. Dia sudah menanyakan keberadaanku sejak jam tujuh malam, yaitu ketika aku sedang bersama Rina. Lalu karena tak mendapat balasan dariku, Stefani mengirimkan beberapa pesan lagi. Tipikalnya memang seperti itu. Aku rasa semua perempuan juga seperti itu karena Rina pun demikian. Kalau kubaca dari pesan-pesan yang dia kirimkan, aku tahu dia tidak marah kepadaku. Dia hanya sangat khawatir terjadi sesuatu denganku. Di samping khawatir, dia juga menanyakan tentang Rina dan bagaimana pertemuan kami tadi. Aku tersenyum membaca setiap kata yang dia kirimkan. Dalam relung hatiku yang paling dalam diriku tak mungkin sampai hati untuk menyakitinya. Dia terlalu baik. Namun, aku tidak mungkin mengatakan sejujurnya kalau aku belum memberitahu Rina maksud dan tujuanku. Itu akan menyakiti hatinya. Dia akan merasa curiga padaku. Dia akan mengira ada pertemuan selanjutnya, dan sebenarnya itulah yang diam-diam kutunggu. Setan jahat membujukku untuk lebih baik berbohong saja pada Stefani. Lagipula, dia juga tidak akan tahu kebenarannya. Namun, di sisi lain nuraniku berontak. Apapun yang terjadi, Stefani berhak mengetahuinya. Dialah yang memberikanku restu untuk bertemu dengan Rina.
Sebelum sempat kuketikan balasan untuk Stefani, ponselku bergetar beberapa kali. Dengan antusias aku menyambut pesan baru itu. Sesuai dengan harapanku, pesan itu memang dari Rina.
Hi, Ndra 23.09
Sudah, nih 23.09
Maaf baru balas tadi sempat lowbat 23.09
Ok Rin 23.10
Gapapa 23.10
Istirahat ya… Udah malam J 23.10
Dua garis centang yang kutunggu-tunggu berubah warna jadi biru tak kunjung berubah warna. Aku menghibur diriku sendiri. Ah, mungkin Rina sedang berbenah diri. Atau… mungkin sebenarnya dia merasa enggan membalas pesanku. Aku tahu perempuan selalu butuh waktu untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang baru dan berbeda. Getaran di ponselku menyadarkanku untuk sadar kembali. Aku memeriksa ponselku dan ternyata pesan dari Stefani.
Panggilan suara tak terjawab pukul 23.00
Ndra? 23.22
Kamu udah pulang, kan? 23.22