Perempuan itu lagi. Sosoknya terlihat sangat jelas saat ini. Dia berjalan membelakangiku sambil menggenggam erat tangan Indra. Mereka berjalan perlahan, perlahan tapi pasti, perlahan menjauhiku yang hanya berdiri mematung memandangi mereka dengan bisu. Sekelilingku ramai. Ramai dengan orang yang berlalu-lalang dan sibuk dengan dunia mereka sendiri. Suara berisik dan bising terdengar menyengat gendang telingaku. Orang-orang di sekitarku tertawa keras, berteriak-teriak dengan bahagia, bersenda gurau, dan saling memekik kegirangan, sedangkan aku bermuram durja di tengah-tengah mereka. Aku menutup kedua telingaku dengan kedua tanganku, tak kuat menahan bisingnya suara-suara itu masuk ke telingaku. Kepalaku terasa pening dan lututku gemetar tak kuat lagi menyangga berat badanku. Aku berlutut di tengah ramainya lautan manusia sambil menengadahkan wajahku ke langit. Langit di atas kepalaku berwarna abu-abu. Sekumpulan awan hitam bergerak memenuhi langit. Sebentar lagi akan hujan, batinku. Namun, kedua kakiku sama sekali tidak mempunyai inisiatif untuk bergerak dan berlari mencari tempat berteduh. Kedua kakiku masih bertelut di atas tanah dan kedua mataku tertuju ke perempuan itu dan Indra. Mereka berjalan semakin menjauhiku. Kurasakan air mata yang mulai tak terbendung. Dengan sekuat tenaga aku bangkit berdiri, berjalan dengan gusar menembus lautan manusia yang menghalangiku menuju Indra. Aku berteriak memanggil Indra. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Indra tak pernah mendengar suaraku. Aku berteriak lebih keras dan keras. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk memanggilnya sampai aku geram karena lelaki yang kukejar tak kunjung mendengar suaraku. Menyerahkah aku? Tentu tidak. Aku tidak semudah itu menyerah. Sudah kepalang basah, maka aku harus menceburkan diriku seutuhnya. Kakiku berlari semakin cepat. Anehnya, semakin aku berlari mengejar mereka, semakin pudar dan jauh bayangan mereka dari penglihatanku. Situasi ini membuatku semakin menjadi-jadi dan kebakaran jenggot. Aku tidak boleh kehilangan jejak mereka, jejak Indra. Dengan bersikeras aku berlari menembus setiap manusia yang menghalangiku. Saking cepatnya aku berlari membabi buta, kakiku tersandung kaki orang yang sedang melangkah. Aku tersungkur. Rintik hujan mulai jatuh membasahi bumi. Orang-orang berhamburan dengan kesetanan mencari tempat berteduh. Aku tetap di tempatku, melihat perempuan itu bersama Indra berjalan di bawah guyuran hujan. Hujan semakin deras dan kejam mengguyurku. Nobody cares. Lagi-lagi aku sendirian dalam keterpurukanku. Bahkan Indra tidak pernah berpaling ke belakang. Kupejamkan kedua mataku. Air mata mengalir membasahi kedua pipiku dan melebur bersama guyuran air hujan yang deras. Aku tak peduli. Sekali lagi aku memanggilnya dengan lebih kencang dan keras.
“INDRA!!!”
Dia berpaling ke belakang dan melihatku yang kuyup mengejarnya. Perasaanku campur aduk melihat wajahnya yang terkejut dengan kondisiku. Aku harap dia tidak melihatku sedang menangis. Aku harap… Aku harap…
Kedua mataku menangkap cahaya matahari pagi yang menembus masuk melalui jendela. Sepertinya aku lupa menutup rapat korden kamar. Silaunya cahaya matahari pagi menyadarkanku pelan-pelan. Apa yang terjadi? Aku mengerjap-ngerjapkan lagi kedua mataku, masih tidak percaya dengan apa yang kualami barusan. Apakah tadi itu nyata atau aku hanya bermimpi? Rasanya begitu nyata dan kini aku terbangun dengan penuh pertanyaan di dalam kepalaku. Aku termangu selama beberapa saat, dapat kurasakan napasku megap-megap dan aku tidak mampu merangkul duniaku yang nyata, duniaku saat ini. Lidahku ingin berteriak memprotes kenyataan yang kualami, tapi kepada siapa aku harus protes? Kenapa aku bisa mimpi seperti itu dan apa artinya? Lalu, sosok perempuan tersebut… Aku tahu aku tidak berhak membencinya, tapi tanpa dapat kukendalikan rasa benci mulai bertunas di hatiku dan aku mulai menempatkannya di posisi rival seolah-olah kami sedang bertanding memperebutkan apa yang paling berharga bagi hidup kami.
Dengan gusar aku beranjak dari atas tempat tidur dan mengambil ponsel. Tidak ada Indra. Tidak ada dia di Whatsapp, tidak ada dia di Instagram. Dia tidak ada di mana-mana. Aku memeriksa kedua media sosial tersebut tempat kami berteman secara virtual. Mataku menelisik setiap nama yang mengirimkan pesan. Tidak ada. Dia tidak online. Instagramnya sunyi seperti biasa. Tidak ada postingan atau story terbaru. Aku menggigit bibir bawahku, tanda kecewa pada ekspektasiku yang berlebihan. Dalam tenangnya pagi yang hangat ini, aku menatap bayangan diriku di cermin. Tadi itu hanya mimpi, Rina. Seketika aku terduduk lemas di atas tempat tidur. Pikiranku masih kacau, bahkan tidak bisa membaca apa yang sedang dipikirkan diriku sendiri. I have no clue.
Haruskah aku mencoba menghubunginya? Pertanyaan konyol ini tidak pantas kutanyakan pada diriku sendiri, but I’m done with waiting. Bayangan diriku menghubungi Indra terlebih dahulu terasa aneh dan asing. Hal itu kulakukan beberapa tahun yang lalu sewaktu masih ada status di antara kami. Namun, sekarang? Aku menggigit bibir bawahku lagi. Kali ini terlalu keras sehingga aku merasakan ada cairan yang terasa agak asin masuk ke dalam mulutku. Aku menggigit bibirku sampai berdarah. Hmm… Aku memutuskan untuk menghubunginya terlebih dulu. Alibi apa yang pantas kugunakan untuk menghubunginya? Otakku berputar dengan keras berusaha mencari alibi yang tepat dan pantas. Sedetik kemudian muncullah ide yang menurutku cukup pantas dan tepat untuk kujadikan alibi menghubunginya.