Hari ini aku akan bertemu dengannya lagi. Tina juga sudah tahu semuanya. Akhirnya aku memilih untuk menyiapkan diri dan hatiku untuk memberitahukannya. Dia syok, marah, geram, kesal, dan kecewa. Semua perasaan negatif bercampur menjadi satu di dalam diri sahabatku itu saat akhirnya aku menceritakan apa saja yang telah kulakukan tanpa sepengetahuannya. Butuh waktu hampir tiga jam untuk menceritakan semuanya karena sebentar-sebentar mahkluk bernama Tina itu menyanggahku dan berceramah panjang lebar. Meskipun pada akhirnya dia mengatakan bahwa semua keputusan kembali lagi padaku, kami harus terlibat dalam debat kusir yang panjang. Bahkan, aku sempat menyesal ketika perdebatan kami seperti hampir tidak berujung. Namun, akhirnya dia menyerah juga. Dia tetap memperingatkanku untuk menjaga perasaanku. Dia menegaskan kalau dia tidak mendukungku dan menilai tindakanku bisa berujung pada sesuatu yang salah. Separuh diriku setuju dengannya, dan separuh diriku yang lain memberontak. Tina sempat menanyakan padaku tentang perempuan yang kami pergoki pergi bersama Indra di Kota Tua, tapi sayang sekali aku pun tidak tahu siapa perempuan itu. Aku bilang Indra sama sekali tidak pernah membahas perempuan itu, lalu aku menanyakan pendapat Tina apakah sebaiknya aku menanyakannya atau tidak. Dia tidak memberikan pencerahan sama sekali. Kami berspekulasi kalau perempuan itu bisa saja bukan pacarnya sehingga dia tidak membahasnya. Namun, spekulasi yang berikutnya adalah perempuan itu memang pacarnya sehingga dia tidak mau membahasnya. Kalau Indra mengaku dia sudah punya pacar, dia akan berpikir kalau aku akan kemungkinan besar menjauhinya. Karena semua masih abu-abu sampai sekarang, maka aku memutuskan untuk mengabaikannya sampai waktu yang tepat datang untukku menanyakan pada Indra atau saat dia sendiri yang bersiap mengatakannya.
“Rin.”
Aku mengangkat kepalaku dari tumpukan berkas yang sedari tadi hanya kupandangi tanpa kukerjakan. Pikiranku belum bisa move on. Ia masih melayang ke ingatan tentang percakapanku dengan Tina sehingga saat aku melihat sosok Albert yang berdiri di sebelahku, aku sedikit terkejut.
“Albert? Sejak kapan di sini? Kok gue nggak dengar langkah lu masuk ruangan gue?”
Pria berkemeja batik merah itu nyengir kuda. Dia membawa beberapa berkas yang dimasukkan rapi ke dalam map merah. Dia memang terkenal dengan kerapiannya, tidak seperti lelaki kebanyakan pada umumnya. Jujur saja aku juga menyukai kerapiannya yang membuat bekerja dengannya menjadi lebih ringan dan tertata. “Lu yang ngelamunin kerjaan, Rin. Berkas sama dokumen jangan dipelototin terus. Kerjaan nggak akan kelar kalau cuma dipelototin. Kerjaan harus dikerjain, Rin.”
Kurasakan pipiku memerah. Bisa kurasakan semua mata di dalam ruangan tertuju pada kami. Suasana mendadak jadi sunyi. Aku bahkan bisa mendengar hembusan napas Albert dan detak jantungku sendiri. Tak ayal lagi setiap manusia di ruangan ini sedang memasang telinga untuk mendengar percakapan kami. Sialan, umpatku dalam hati. Aku mengumpat karena manusia-manusia di sekitarku yang kepo sekaligus karena kata-kata Albert. Kenapa malah dia berceramah di sore-sore begini? Aku tahu maksudnya hanya bercanda, tapi entah kenapa aku tersinggung. Semua orang jadi tahu kalau aku sedang melamun. Ah, aku sedang sensitif.
Aku mengangguk sambil membalasnya nyengir. “Iya, Bapak Albert yang terhormat. Maafkan saya.” Tanganku memberikan sinyal agar dia cepat menyerahkan map-map merah yang sudah minta dilahap itu. Dalam hati aku juga berharap agar dia cepat menghilang dari ruanganku. Biasanya aku memang merasa tidak nyaman setiap kali kami mengobrol dan semua orang seperti berusaha memasang mata pada kami, tapi kali ini rasanya rishi sekali seperti ada kerikil yang masuk ke dalam sepatumu ketika kau sedang berlari.
“Sudah semua, nih.” Aku menghitung cepat map yang diberikannya padaku sambil melihat nama-nama yang tertulis di map. Aku tidak benar-benar menghitungnya. Aku berpura-pura semua sudah benar supaya dia cepat keluar dari sini.