Stefani dan aku saling berkabar seperti biasanya, seperti tidak terjadi sesuatu diantara kami. Ungkapan ini sebenarnya lebih tepat ditujukan untukku. Aku mengakuinya. Aku bertindak seperti tidak terjadi sesuatu, seperti saat-saat sebelum Rina muncul kembali ke kehidupanku. Sebenarnya Stefani mengajakku pergi malam ini secara tiba-tiba. Dia bilang dia merasa bosan dan suntuk. Dia ingn mengajakku makan di daerah Kemang, tapi aku menolaknya. Aku berbohong padanya. Kubilang malam ini aku akan lembur. Sebagai gantinya karena aku merasa bersalah padanya, aku menjanjikan pergi bersamanya besok malam. Lucunya, dia juga tidak curiga dan tidak keberatan. Ya, aku bisa mengambil kesimpulan itu dari balasannya yang dihujani dengan stiker-stiker dan emotikon penuh cinta. Aku pun mengakhiri obrolan singkat kami di Whatsapp dengan alasan pekerjaan lagi. Kenyataannya aku sedang bersiap untuk menemui Rina.
***
Wajahnya kini tidak telihat canggung lagi. Bukan karena dia lebih ceria atau lebih cantik dengan balutan make up, tapi karena dia lebih menjadi dirinya dibandingkan waktu pertama kali kami bertemu. Dan karenanya aku merasa senang dan lega di saat yang bersamaan. Dia menggigit churrosnya dengan lahap. Aku terkekeh geli melihatnya. Dia langsung melirik dan memelototiku yang terkekeh. She is exactly still the same as she was!
“Apa?” tanyanya dengan nada kesal. Cokelat isian churros yang dimakannya belepotan di jarinya. Aku menyodorkan tissue padanya.
“Nggak apa-apa.”
Dia menerima tissue ku sambil menirukan kata-kataku dengan gayanya yang menyebalkan. Biasanya aku agak tersinggung dan kesal jika dia melakukannya. Tapi kali ini aku memutuskan untuk tidak kesal karena kelakuannya. Waktu kami hanya sedikit, jadi aku harus memanfaatkan sebaik-baiknya.
“Tumben nggak marah?” Seolah mengerti isi pikiranku, dia menanyakan hal tersebut.
“Marah kenapa?” Aku balik bertanya, pura-pura bodoh.
“Biasanya kamu akan marah kalau aku menirukan kata-katamu seperti tadi. Maksudku dengan cara dan mimik muka yang menyebalkan.”
“Kamu mencoba membuatku marah?” Kali ini aku mencoba menggodanya.
Dia memelototiku, “enggak!” Jawabannya ketus kali ini.
“Kenapa kamu jadi ketus?”
Kedua bola matanya berputar, pertanda dia sudah mulai naik darah. Bukannya membuatku takut, aku malah terkekeh geli lagi dibuatnya.
“Jangan marah-marah gitu dong, Rin.” Dengan sengaja aku mencuri satu churrosnya sebelum dia sempat melarangku. Dia melihatku dengan tatapan kesal bercampur geli karena kecolongan.