Pertemuan dengan Indra kali ini kacau. Kacau, kacau, kacau! Aku memukul-mukul meja kamarku dengan kepalan tanganku sampai berwarna merah dan meringis kesakitan. Rasa kesal dan menyesal bercampur menjadi satu. Pertama, aku kesal karena aku bereaksi terlalu emosional terhadap pertemuan kami. Kedua, aku menyesalinya. Aku terus menyalahkan diriku sendiri karena tidak bisa menahan perasaanku. Bagaimana jika dia tidak mau lagi bertemu denganku? Aku akan benar-benar kehilangan kesempatan kedua ini selamanya. Kesempatan untuk bersamanya lagi meskipun sebentar saja. Tidak seharusnya pertemuan kami berakhir seperti tadi.
Ponsel yang tergeletak di atas meja dari tadi sama sekali tak bergetar sedikit pun. Itu artinya tidak ada pesan apapun dari Indra. Aku mendengus kesal. Kuraih ponselku dan kubuka aplikasi Whatsapp. Namanya terpampang di sana. Dia sedang online. Jariku sangat tergoda untuk menghubunginya. Kucoba untuk mengetikan beberapa kalimat, tapi kalimat-kalimatku terasa aneh dan canggung sehingga akhirnya kuurungkan niatku menghubunginya. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk menghubunginya. Dia pasti butuh waktu untuk menenangkan diri, begitu pun denganku.
***
Kupikir akan lebih baik jika aku mengawali hari ini dengan berolahraga. Berolahraga akan membuat pikiran jadi lebih fresh. Aku bersiap untuk lari pagi di sekitar kompleks kosan. Baru saja berjalan melintasi beberapa rumah di sekitar kompleks, mataku menangkap sosok yang familiar. Perempuan itu. Dahiku mengernyit ketika mataku menangkap sosoknya yang tidak asing. Perempuan yang bersama Indra di Kota Tua waktu itu. Entah siapa namanya, aku tidak tahu. Indra tak pernah membahasnya sedikit pun saat bersamaku. Aku berhenti dan memperhatikan perempuan itu sejenak dari tempatku berdiri. Dia berjalan santai ke arahku berdiri bersama anjing peliharaannya. Dia mengenakan topi putih dan baju jogging lengkap dengan running shoes. Aku melihatnya berjalan melewatiku, begitu juga dengannya. Pikiranku mulai membandingkan diriku dengannya. Aku tidak melihat ada kemiripan diantara kami. Biasanya seseorang akan mencari pasangan yang tidak jauh beda dalam segi fisik dari pasangan sebelumnya. Namun aku sama sekali tidak menemukannya pada kasusku. Kami adalah dua manusia yang benar-benar berbeda. Dia memperhatikanku dengan tatapan heran. Aku bisa membaca pikirannya yang pasti risih dengan tindakanku; orang asing yang terus memperhatikannya, membiarkan asumsi buruk dalam pikirannya berkembang biak dan menjalari setiap adrenalinnya. Tentu saja hal ini terlihat dari responsnya yang langsung bergegas meninggalkan kompleks. Sesekali dia menoleh ke arahku, memastikan aku tidak mengikutinya. Aku tidak akan mengikutimu, kataku dalam hati. Aku tahu di mana dirimu tinggal. Aku pun telah berkencan bersama kekasihmu. Apakah kau tidak tahu? Lidahku bergerak-gerak sudah siap untuk melontarkan semua kata-kata itu padanya, tapi akal sehatku menahan pikiran gila ini.