Bayangan Rina yang terobsesi pada hubungan kami masih terus mengisi kepalaku. Ingatan akan dirinya terasa seperti benalu yang menempel pada pohon dan mengisap seluruh nutrisi yang dimiliki si pohon. Dia telah menjadi benaluku belakangan ini. Dia mengisap seluruh emosi, pikiran, tenaga, dan waktuku. Aku jadi tidak lagi fokus pada Stefani. Bahkan aku baru ingat kalau aku belum menghubunginya sampai siang ini. Tidak, bukan aku yang belum menghubunginya. Aku baru tersadar kalau dia pun belum menghubungiku. Apa yang terjadi padanya? Tidak biasanya dia sesibuk ini. Dia selalu menyempatkan waktu untuk menghubungiku. Perasaan tidak enak dan insecure mulai merayap ke bawah permukaan kulitku. Kuputuskan untuk menghubunginya saja mumpung keadaan kantor sedang sepi. Manager sedang tidak di ruangan, jadi aman, pikirku. Kutelepon dia melalui Whatsapp, tapi dia menolak panggilanku. Kucoba sekali lagi, dia menolaknya lagi. Jantungku semakin berdebar dan pikiran buruk mulai meracuni isi kepalaku. Aku mencoba sekali lagi menghubunginya melalui nomor ponselnya. Nomornya sibuk. Kuletakkan ponselku di atas meja. Kenapa dia sibuk seperti ini, tanyaku pada diriku sendiri. Tidak biasanya dia seperti ini. Mataku masih terus mengawasi layar ponsel sebelum layar itu berubah menjadi gelap. Sesaat kemudian, tanpa kuduga, ponselku bergetar. Telepon masuk dari Stefani. Dengan cepat dan bersemangat aku mengangkat teleponnya.
“Halo, Stef.” Suaraku serak dan parau. Susah payah aku mengeluarkan suara itu dari kerongkonganku yang terasa kering dan mencekat.
“Halo, Ndra. Sori tadi ada telepon dari logistik. Maaf ya aku belum sempat hubungi kamu. Dari pagi hectic karena banyak masalah.”
Perasaan lega segera menjalari sekujur tubuhku, merasuk ke dalam setiap urat nadi dan otot yang menegang. Perasaan lega yang muncul sekaligus mengusir rasa takut dan adrenalin yang menegang. Aku mengembuskan napas lega. Entah kenapa aku harus paranoid begini.