“Kau masih berhubungan dengannya?” Pertanyaan Tina lebih terdengar seperti interogasi seorang polisi. Nada bicaranya tegas, datar, dan demanding, ditambah dengan tatapannya yang tajam menyelidik ke arahku. Aku benci jika dia mulai menatapku dengan cara seperti itu karena membuatku merasa sangat bersalah.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menghindari tatapannya dengan memalingkan wajahku. Jalanan ibukota yang basah karena hujan tidak menghentikan orang-orang untuk keluar dan bepergian. Sedari tadi hujan turun mengguyur tanah ibukota dengan derasnya. Aku penasaran ke mana orang-orang itu akan pergi.
“Rin!”
Aku tersentak dengan suara Tina yang keras memecah pikiranku yang asyik dengan jalanan basah. Pandangan kami saling bertemu.
“Kamu belum jawab pertanyaan aku. Jangan menghindariku.” Dahinya mengernyit kesal. Entah kenapa melihatnya cemberut di hadapanku sama seperti melihat anak kecil yang cemberut karena dilarang membeli es krim. Aku terkekeh.
“Kenapa tertawa?!” Suaranya naik satu oktaf dan kini aku tahu kalau dia sudah benar-benar marah. Wajahnya merah padam. Dia pasti tersinggung karena aku tidak menjawab pertanyaannya dan malah menertawakannya. Meskipun wajahnya masih terlihat konyol bagiku, aku berusaha menahan tawaku agar dia tidak semakin tersinggung.
Aku berdeham sebelum mulai bicara. “Aku tidak tahu apakah aku masih bisa dikatakan berhubungan dengannya atau semuanya sudah berakhir.” Kulihat ada binar-binar yang tercetak jelas di kedua matanya saat mendengarku menyelesaikan kata-kataku. Sudah dapat kutebak dia akan bahagia jika mendengar dari mulutku sendiri kalau aku sudah tidak berhubungan dengannya.
Dia menarik kursinya supaya bisa lebih mendekat padaku. “Serius? Kau sudah tidak berhubungan lagi dengannya?”