All the Way to You

judea
Chapter #24

Indra

Pesan singkat darinya membuatku kehabisan kata-kata. Dia meminta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Kenapa dia selalu membuat situasi menjadi runyam, sih?

“Hei!”

Stefani berjalan menghampiriku, kedua tangannya penuh dengan dua botol milk tea. Cepat-cepat aku meletakkan ponsel di atas meja, tidak mau dia mengetahui dengan siapa aku sedang berhubungan.

“Hei. Thank you.” Aku meraih salah satu botol milk tea.

“Ada apa?” Matanya melirik ke ponselku. Rasa khawatir berdesir di sekitarku seperti angin sepoi-sepoi. Ia tak berwujud, tapi kehadirannya dapat kurasakan dengan jelas.

“Oh,” aku memaksakan diriku terlihat senatural mungkin. Jangan sampai kelihatan gugup, perintahku pada diriku sendiri dalam hati. “Nggak apa. Biasa, kerjaan. Gimana kemarin di kantor?” Aku tahu ini terlihat mencurigakan, tapi aku harus mengalihkan pembicaraan kami.

Dia meneguk minumannya sebelum menjawab pertanyaanku. “Seperti biasa, sudah selesai. Yang sempat bikin pusing karena beberapa orang di tim nggak bisa diajak bekerja sama dengan baik.” Wajahnya langsung berubah menjadi bete.

“Namanya juga kerja di kantor, pasti ada orang-orang yang seperti itu. Kepribadian orang berbeda-beda.”

Dia menekuk wajahnya dan memutar kedua bola matanya. Bukan karena kesal dengan kata-kataku, tapi karena muak dengan apa yang kemarin dihadapinya.

“Eh, aku ke toilet dulu, ya?” Aku beranjak dari kursi dan segera ngacir ke toilet karena rasanya sudah di ujung sekali. Dia mengangguk mengiyakan.

Aku berjalan melewati beberapa meja yang hanya terisi oleh sedikit pengunjung. Sudah bisa kupastikan toiletnya akan sepi. Aku memasuki toilet dan menatap bayangan wajahku di cermin dan merenung sebentar. Sepertinya aku harus jujur pada Stefani tentang apa yang sudah kulakukan, tentang Rina, maksudku. Aku merasa ada desakan yang kuat untuk berkata sejujurnya karena aku tahu aku tidak akan bisa menyembunyikannya dalam waktu yang lama. Baiklah, ujarku dalam hati. Aku memantapkan hati dan bersiap dengan semua respons yang akan diberikan Stefani.

Sambil merapikan pakaianku yang agak kusut, aku berjalan ke meja kami. Namun, langkahku harus terhenti bahkan sebelum aku mendekati meja kami. Pemandangan yang kulihat hampir membuatku mati kaku berdiri. Stefani sedang melihat isi ponselku, dan lebih parahnya lagi sepertinya dia sedang melihat isi Whatsappku dengan Rina.

“Stefani.” Aku memanggil namanya dengan sangat lembut, berusaha tidak membangunkan amarahnya meskipun aku tahu amarah itu pasti sudah bangkit sedari tadi di dalam dirinya. Apapun yang terjadi, aku harus tetap berusaha netral. Aku memang salah.

Dia mengangkat wajahnya melihatku yang berdiri di hadapannya dengan masih menggenggam ponselku. Melihatku berdiri di hadapannya, dia semakin menggenggam ponselku dengan kuat, kurasa. Bisa kurasakan amarah itu sudah mengamuk dalam dirinya, seperti ombak besar yang mengamuk di laut lepas. Wajahnya merah padam dan dahinya mengernyit membentuk cekungan tajam dan ekstrim di antara kedua alisnya. Mulutnya terkatup-katup tidak keruan. Aku tahu dia pasti ingin memaki-makiku, tapi dia tak sampai hati melakukannya.

Lihat selengkapnya