All the Way to You

judea
Chapter #25

Rina

Tak kusangka aku melihatnya berdiri di tepi jalan sendirian di tengah malam seperti ini. Cepat-cepat aku menepikan mobilku tepat di depannya. Rintik hujan sudah mulai turun. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya, tapi dia hanya berdiri terpaku melihatku saat aku memanggilnya.

“Indra!” Dengan terburu-buru aku berlari menghampirinya. Tak lupa aku membawa payung untuk kami berdua. Rintik hujan semakin deras, tapi Indra hanya berdiri tak bergeming. Dia diam saja. Dia tidak kelihatan seperti dirinya.

“Indra, ayo masuk ke mobilku. Aku antar kamu pulang.” Aku menggenggam lengannya, tapi dia menepisku.

“Kamu kenapa, Ndra?” Hujan sudah semakin deras. Payungku tidak akan dapat melindungi kami berdua dari terpaan air hujan yang ditambah dengan angin kencang. “Ayo, kita masuk. Kita bicara di dalam mobil saja. Ok? Hujannya makin deras.” Aku harus meninggikan suaraku karena guyuran air hujan yang disusul dengan gemuruh membuat suaraku terdengar lirih. Kali ini bujukanku berhasil. Akhirnya Indra mau masuk ke dalam mobilku.

“Ndra,” aku memberikan tissue padanya karena tubuh dan wajahnya basah terkena guyuran air hujan. Dia menerima tissue yang kuberikan dengan lemas. Aku ingin sekali menanyakan apa yang sedang terjadi, tapi kupikir lebih baik memberikan dia ruang untuk menenangkan diri sejenak. Isi kepalaku mulai berspekulasi macam-macam.

Thank you, Rin.” Akhirnya dia bersuara, ujarku lega dalam hati.

Aku menatapnya dari tempatku sambil mengangguk, lalu memalingkan pandanganku kembali ke jalanan di hadapan kami yang sudah basah dengan air hujan. Dalam hati aku membatin dan memohon padanya untuk bersuara lagi. Ceritakanlah apapun yang ada dalam kepala dan isi hatimu. Aku akan dengan senang hati mendengarkannya. Namun, jeritan hatiku hanya akan menjadi jeritan yang tak pernah terucap karena pada kenyataannya aku pun memilih diam di sebelahnya, menunggu hingga dia siap untuk memulai percakapan.

“Rina.” Suaranya terdengar kering dan serak, seperti orang yang sedang merana kesakitan. Aku meresponsnya dengan anggukan kepala, tapi tetap memilih untuk diam menunggunya mengatakan sesuatu lagi. Jantungku berdetak kencang menunggunya, apalagi aku sama sekali tak punya klu apapun tentang sesuatu yang ada di dalam kepalanya. “Maafkan aku.”

Kedua alisku naik dengan penuh tanda tanya mendengarnya meminta maaf. “Maaf untuk apa, Ndra?”

“Maafkan aku karena terakhir kali kita bertemu, pertemuan kita tidak berakhir dengan baik-baik. Aku meninggalkanmu begitu saja. Tidak seharusnya aku bersikap seperti pecundang begitu.”

Aku terenyuh mendengar kata-katanya. Ada angin apa sehingga dia bisa meminta maaf seperti ini? Intuisiku mengatakan ada hal lain yang sebenarnya sedang disembunyikannya dan hal itulah yang sebenarnya ingin diutarakan kepadaku.

“Indra, apa yang ingin kau katakan? Jujur saja padaku.” Ada perasaan tak enak yang merayap di bawah permukaan kulitku, membuatku merinding ketakutan.

Dia tidak serta merta langsung menjawabku. Tatapan matanya terpusat ke jalanan di depan kami. Tatapan matanya tidak kosong, melainkan tajam dan penuh pertimbangan.

“Aku menyesali perpisahan kita.”

Kali ini jantungku benar-benar mencelos mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya sendiri. Sebuah pengakuan yang kunanti-nanti selama ini. Sebuah pengakuan yang akhirnya membuatku lega. Ini adalah konfirmasi lisan yang nyata dan resmi darinya, bahwa kami merasakan beban yang sama. Rasa takut yang tadi merayap di bawah permukaan kulitku hilang seketika entah ke mana dan digantikan dengan rasa bahagia. Rasanya… aku ingin melompat kegirangan. Namun, cepat-cepat kutepis perasaan itu ketika wajah perempuan yang bersamanya muncul dalam benakku.

“Aku ingin merasakan kembali bersamamu, sebentar saja, tapi…” Dia berdeham seolah memanggil kembali suaranya yang hampir hilang untuk kembali ke tempatnya. “Stefani lebih dulu mengetahui tentangmu.”

Lihat selengkapnya