Stefani masih belum juga membalas Whatsappku sampai sekarang. Biasanya dia tidak akan betah berlama-lama tanpa memberiku kabar. Namun, kali ini dia benar-benar diam seribu bahasa. Teleponku pun di-reject. Sudah pasti dia benar-benar marah besar. Aku tak tahu bagaimana aku harus menebus kesalahanku. Sementara itu, Rina juga menghubungiku. Dia menanyakan bagaimana hubunganku dengan Stefani. Aku belum membalas Whatsapp darinya. Kepalaku pusing dan aku tak bisa berpikir. Dalam kegalauanku, akhirnya kuputuskan untuk mencoba meneleponnya sekali lagi. Ini sudah yang kelima dalam hari ini.
“Ayo, angkat, Stefani!” kataku pada diriku sendiri. Tanganku mengepal karena gemas, berharap keberuntungan kali ini memihakku. Dan, tanpa kusangka dia akhirnya menyerah dan mengangkat teleponku di dering-dering terakhir yang membuatku semakin putus asa.
“Halo?” Aku dapat merasakan suaranya yang penuh dengan kekesalan dan rasa malas untuk menanggapiku.
“Stef, kamu lagi apa?” Kupejamkan mataku sambil menanyakan basa-basi aneh ini. Diriku serasa kaku dan canggung menghadapinya. Seketika aku tak mengerti apa yang harus kukatakan. Semuanya terasa salah, bahkan ketika aku menanyakan pertanyaan basa-basi seperti ini yang biasanya hanya terdengar seperti orang kurang kerjaan.
Dari seberang sana dia mendengus mendengar pertanyaanku. “Udah jalan pulang. Kenapa?”
Aku tidak suka dengan nada bicara dan caranya menanyakan kenapa padaku. Rasanya dia ingin menyampaikan secara tidak langsung kalau aku mengganggunya dan dia ingin cepat-cepat pada inti permasalahannya saja. Meskipun aku kesal dia menanyakan padaku dengan nada bicara yang menunjukkan tidak ingin diganggu, aku harus menahan emosi dan kekesalanku. Aku harus mengalah karena memang aku yang salah.
“Stef, kita harus ketemu.” Nada bicaraku sudah kedengaran memohon.
“Untuk apa?”
“Aku bisa jelaskan semuanya. Kamu harus dengar dari aku.” Nada bicaraku lebih memohon lagi. Aku sudah mulai kehabisan akal dan cara untuk membujuknya. Ya Tuhan, kenapa dia begitu keras seperti batu?
Selama beberapa detik dia tidak memberikan komentar atau cercaan terhadap ajakanku.
“Halo? Stef? Kamu dengar suaraku kan?” Aku tahu dia mendengarnya, tapi dia tidak memberikan jawaban.
“Iya. Apa yang mau kamu jelaskan, Ndra? Aku ingin menyendiri dulu. Kenapa kamu ganggu aku?”
“Sampai kapan kamu mau menyendiri begini? Aku semakin tersiksa kalau kamu terus-menerus bersikap dingin dan nggak mau bertemu.”
“Kamu yang membuat dirimu sendiri tersiksa. Aku nggak pernah menyiksamu. Justru aku yang tersiksa karena tindakanmu, Ndra. Kenapa kamu egois?”