Suaranya di telepon terdengar gelisah, tergesa-gesa, dan penuh kegugupan. Kalimat-kalimatnya tidak tertata dengan baik. Dia kedengaran berantakan. Dia mengatakan akan menemuiku sekarang juga. Dia memintaku mengirimkan lokasi kosku. Aku mengiyakan saja dan melakukan apapun yang diinginkannya. Dia tidak memberitahuku apa alasannya ke kosku waktu aku menanyakannya. Sebaliknya, dia hanya bilang kalau ada hal urgent yang ingin dia bicarakan denganku. I wonder what that is. Di sisi lain pikiran negatifku berspekulasi kalau dia akan membawa Stefani menemuiku. Tidak, dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu, aku berusaha menghibur dan menenangkan diriku sendiri. Pikiran tersebut sangat menggangguku setelah Indra mengatakan ada hal yang perlu dibicarakan denganku, tapi aku tak punya keberanian untuk mengkonfirmasi ketakutanku. Biarlah ketakutanku menjadi misteri sampai aku menghadapinya langsung. Kalau memang Stefani perlu menemuiku, aku akan menemuinya dengan penuh keberanian. Aku akan meminta maaf kepadanya meskipun dengan melakukannya berarti aku mengakui kekalahanku, kesalahanku, dan membiarkan diriku mematikan ego dan gengsiku di saat yang bersamaan.
Suara mobil berhenti di depan gerbang kos membangunkanku, mengembalikanku seutuhnya ke atas muka Bumi lagi. Itukah Indra? Cepat sekali, batinku. Getaran ponselku yang menunjukkan masuknya pesan singkat dari Indra seolah mengkonfirmasi pertanyaanku. Aku segera menghambur ke luar.
“Kita bicara di sini saja,” katanya dengan datar. Dia sudah berdiri di samping mobilnya.
“Ada apa?” tanyaku polos. Sungguh, aku tidak paham dengan maksudnya.
“Kita harus mengakhiri semuanya. Hubungan kita selama ini.”
Kata-katanya menusuk ke hatiku seperti hujaman samurai yang tajam. Aku hampir tak percaya dia mengatakan hal seperti ini. Aku harap semua ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang akan berakhir ketika aku terbangun. Lantas, aku menampar pipiku sendiri, berusaha membangunkanku dari mimpi buruk yang mengerikan ini. Namun, ini bukan mimpi. Ini kenyataan, Rina!
“Kenapa, Ndra?!” protesku. Bagian dari diriku tidak terima dengan keputusannya yang sepihak dan tidak ingin kebersamaan kami berakhir. Namun, bagian lain dari diriku mengatakan Indra sudah milik Stefani. Aku benci keadaan ini!
“Aku nggak bisa begini terus, Rin. Aku punya Stefani. Aku harus mempertahankan hubungan kami dan akan tetap memilih dia.”
Aku tak menyangka dia begitu kejam. Sepertinya dia menyesali kata-katanya barusan. Kedua tangannya mengacak-acak rambutnya dengan gusar.
Dia berjalan mendekatiku. “Rin, dengarkan aku. Aku memang mempunyai perasaan padamu, tapi aku harus memilih.”