Menunggu adalah hal paling menyebalkan di seluruh dunia sekaligus hal yang paling kubenci. Namun, kali ini berbeda. Aku tidak masalah menunggunya karena dia adalah sumber kebahagiaanku. Kulirik jam tanganku yang ternyata sudah menunjukkan tepat pukul tujuh pagi. Sepuluh menit yang lalu dia memberitahuku kalau dia sudah dalam perjalanan menuju kosku. Aku duduk di ruang tamu dalam diam, berspekulasi tentang apa yang akan dia lakukan dan ke mana dia akan membawa kami pergi. Sambil menunggunya, aku membuka akun Facebook milikku dan membuka satu album foto yang berjudul Us. Album itu kini berstatus private, yang artinya hanya aku yang dapat melihat isi fotonya. Dulu album itu punya status yang berbeda. Kubuka kumpulan foto-foto kami selama berpacaran. Kebanyakan kenangan kami memang kuunggah ke akun Facebook karena aku merasa lebih pantas mengunggah banyak foto ke akun Facebook dibandingkan kea kun Instagram. Ketika baru saja aku menikmati setiap kenangan dalam foto kami, suara mesin mobil yang hendak berhenti terdengar jelas di depan gerbang. Aku segera log out dari akunku dan menghambur ke luar. Benar, Indra sudah datang.
“Hai,” sapaku dengan senatural mungkin saat aku masuk ke dalam mobilnya. Aku tidak mau kelihatan gugup atau canggung. Aku harus terlihat normal di hadapannya. Saat aku membuka pintu mobilnya, aroma kopi tercium dengan jelas memenuhi ruangan mobilnya dan keluar menyambutku. Aku penasaran sejak kapan dia memasukkan air freshener kopi ke dalam mobilnya. “Bau kopinya enak,” ujarku memuji pilihannya.
“Hai.” Dia membalas menyapaku dengan senyuman, yang kurasa juga dibuatnya senatural mungkin. “Thank you,” sahutnya membalas pujianku, kemudian dia melajukan mobilnya dengan santai. Aku masih tidak mau ke mana dia akan membawa kami pergi.
“Sudah sarapan, Rin?” Pertanyaannya memecah keheningan singkat kami.
“Oh, belum, Ndra.” Pagi ini cuaca terbilang sangat cerah sampai cahaya matahari yang menyilaukan masuk ke dalam mobil membuat mataku silau dan perih. Aku memblok masuknya cahaya matahari itu dengan menurunkan sun visor.
“Sarapan dulu, yuk? Kamu mau makan apa?”
“Apa aja, deh, terserah.”
“Pasti jawabannya terserah.” Ternyata dia menggodaku. Aku menatap ke arahnya sambil terkekeh, antara merasa lega karena dia akhirnya bisa memecahkan suasana kami yang dingin bak balok es dan merasa lucu karena dulu dia sering menggunakan jurus yang sama untuk menggodaku.