Sebentar lagi kami akan sampai di tempat tujuan yang sudah kusiapkan untuk kami menghabiskan waktu bersama. Aku bersyukur ramalan cuaca yang semalam kubaca ternyata benar. Pagi ini cerah sekali, tapi siang hari akan berawan. Gumpalan awan mulai berkumpul di langit di atas kami. Cuaca yang tepat untuk kami menghabiskan waktu di sana. Aku berani bertaruh kalau Rina pasti masih penasaran ke mana aku akan membawanya. Dia tentu tahu ke mana jalan ini akan berakhir, tapi dia pasti tidak tahu dan menyangka aku akan membawanya ke sini. Aku harap dia belum melupakan memori terakhir kami.
Mobilku keluar dari jalan tol, masuk dan berbaur ke jalan umum. Pemandangan jalanan yang padat di Jakarta memang sudah jadi makanan sehari-hari. Tidak perlu terkejut dan mengomel, ujarku dalam hati. Yang harus dilakukan adalah bersabar.
Rina hanya duduk di sampingku dalam diam. Dia tidak banyak bicara dari tadi meskipun aku tahu dia berusaha memecahkan suasana dengan mengajakku bicara beberapa kali. Maafkan aku, Rin. Tak tahu kenapa aku juga merasa canggung untuk berbicara denganmu saat ini. Aku ingin sekali membuka percakapan denganmu, seperti saat kita bertemu beberapa waktu yang lalu. Tapi, aku merasa lumpuh. Aku merasa tidak bisa melakukannya. Semua terasa serba salah.
Perasaan canggung ini akhirnya berakhir juga. Kami sampai di tempat tujuanku. Ekspresi wajah Rina tak bisa kujelaskan lagi. Dia terkejut, bahagia, dan tidak menyangka kalau aku akan benar-benar membawanya kemari. Kami berada di Pantai Ancol. Dia tidak berhenti tersenyum melihat hamparan laut lepas yang terbentang di hadapannya. Suara deburan ombak terdengar begitu menantang dan kuat. Angin pun bertiup tak kalah kencang membuat rambut panjangnya menari-nari dengan bebasnya. Wajahnya kelihatan sangat damai dan cantik dengan terpaan angin yang menggoda setiap helai rambutnya. Dia masih sama persis dengan terakhir kali kami ke pantai.
“Indra! Aku nggak nyangka kamu akan bawa aku ke pantai!” Dia histeris dalam kebahagiaan yang begitu meluap. Ya, aku dapat melihat kebahagiaan itu meluap seperti air yang tumpah dari gelas dan kebahagiaan itu menulariku. Aku tertawa melihatnya langsung berlari-lari di atas tanah pasir sambil menikmati angin laut dan deburan ombak.
Aku berjalan menuju ke tempatnya berdiri. Dia berdiri dengan tenang memandang laut biru yang bergelora. Ombak yang menyapu pantai membuat kakinya basah. Dia tidak peduli. Dia hanya menikmati dirinya di hadapan alam yang begitu menyita perhatiannya. Dia sedang menikmati setiap detik yang dihabiskan bersama deburan ombak laut ini. Betapa tenang dan damai wajahnya. Aku berdiri di sampingnya dan melipat kedua tanganku di dada. Dia menoleh ke arahku dan mengambil satu tanganku, lalu menggenggamnya dengan erat. Aku membiarkannya melakukannya.
“Aku milikmu seutuhnya, hari ini, Rin.” Kubisikkan kata-kata itu dengan lembut di telinganya. Dia mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku membelai rambutnya yang masih menari-nari dengan bebasnya.
“Aku tidak ingin hari ini berakhir, Ndra.”
“Kita harus menikmati setiap detik yang akan berlalu dari hari ini. Jangan memusingkan hari esok, Rin. Semua akan punya kisahnya masing-masing. Live in the present, don’t live for the past or worry the future.”
Genggaman tangan itu berubah menjadi pelukan hangat bagi kami berdua. Kenapa waktu begitu kejam terhadap kami? Kenapa hanya pertemuan singkat yang boleh kami lalui dan nikmati bersama?