Dunia ini terasa seperti mimpi. Aku sudah tidak tahu lagi yang mana dunia nyata dan yang merupakan mimpi. Yang aku tahu pasti adalah aku harus melewati waktu-waktu ini sendirian. Waktu terasa berjalan begitu lama, lambat, dan karenanya ia begitu terasa menyiksa bagiku.
Aku membiarkannya pergi meninggalkanku sendirian, kewalahan dengan segala pikiran dan perasaanku yang tidak mau berhenti berspekulasi sehingga aku benci diriku sendiri. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, pergi meninggalkanku. It pains me a lot, it does. Seluruh diriku menjerit karena aku tak ingin berpisah darinya. Tapi, bibirku melakukan sebaliknya. Ia menutup rapat-rapat dirinya dan memilih diam.
Dia sudah menetapkan pilihannya. Tidak ada lagi yang dapat mengubah keputusannya. Bahkan diriku sekalipun tidak akan mengubahnya. Yang harus kulakukan sekarang adalah menerima segala keputusannya, menegakkan kepalaku kembali, dan berjalan lurus menuju ke masa depanku meskipun terasa sulit bagiku. Indra benar. Kami tidak bisa kembali ke masa lalu, apalagi hidup di dalamnya. Tidak ada apapun lagi di sana. Tidak ada harapan, tidak ada kisah yang hidup. Semua hanya kenangan. Aku adalah masa lalunya, begitu juga dengan dirinya yang merupakan masa laluku. Cerita kami sudah selesai di masa lalu. Yang belum selesai hanya perasaanku padanya. Seperti yang pernah Tina katakan padaku kalau ini adalah masalah perasaanku sendiri. Aku harus mengambil alih untuk mengendalikannya.