Di dunia ini tidak ada potensi negatif—kecuali kita salah mengelola energi itu.
Manusia memang bisa melakukan perubahan. Namun pada intinya, Allah-lah yang akan mengubah semuanya. Kalau Allah mengatakan, “Wahai manusia, Aku tidak akan mengubah engkau sebelum engkau sendiri mengubah dirimu”, jangan terus dipikir itu maksudnya benar-benar harfiah, “Lâ yughayyiru mâ biqaumin hatta yughayyirû mâ bi anfusihim”. Kalau sampai kita mikirnya benar-benar begitu, kita bisa kurang ajar sama Allah. Kita bisa saja bilang begini, “Tuhan, gimana, sih? Kalau saya sudah mengubah nasib saya, untuk apalagi Kau-ubah?”
Hati-hatilah dalam berpikir. Hal yang harus kita perhatikan dan pikirkan adalah, sebenarnya perubahan primer itu dari kita atau Allah? Kalau menurut saya, dalam ayat itu, sebenarnya Allah mau bilang begini, “Yang penting kamu itu terlihat sembahyang, terlihat berusaha, terlihat kerja. Kamu pamit ke istri dan anakmu berangkat kerja pukul delapan pagi, pulang pukul lima sore—terlepas sebenarnya kamu itu ngapain di luar rumah—itu sudah lumayan. Sudah terlihat berusaha ke luar rumah. Yang penting terlihat keringatan. Soal hasilnya, itu nanti urusan-Ku”.
Saya dulu punya teman, pukul sembilan pagi selalu ke rumah saya, pukul lima sore dia pulang ke rumahnya. Kalau di rumah saya, dia pamer soal rumahnya. Selama di rumah saya dia merasa “sedang bekerja”. Begitu pulang ke rumahnya, dia cerita mengenai bagaimana di tempat saya. Dia merasa sudah bekerja juga. Padahal, sebenarnya dia hanya keluar rumah, pergi dari rumah, tapi dia merasa dengan begitu sudah bekerja. Itu tidak apa-apa dilakukan. Sah-sah saja. Sudah lumayanlah, sudah mau berusaha. Lagi pula, cari pekerjaan sekarang, kan, susah juga. Yang penting sudah berusaha keluar rumah, itu sudah bagus.
Ayah saya sendiri pernah seperti itu. Dalam keadaan yang sangat miskin, ayah saya keluar rumah, jalan berpuluh-puluh kilometer. Ibu saya di rumah juga tenang, tidak mikir yang aneh-aneh. Kalau ditanya anak-anaknya, ibu saya hanya menjawab, “Bapakmu nyambut gawe (kerja-ed.).” Seperti itu sudah lumayan, yang penting punya niat: Ya Allah, hanya ini yang bisa aku kerjakan. Yang penting kita benar-benar niat berbuat atau melakukan sesuatu, tidak diam saja. Nah, karena kita punya niat yang kuat, maka Allah akan bekerja untuk kita. Jadi, keputusan akhir soal nasib itu, ya tetap ada pada Allah. Siapa tahu dari jalan-jalan kelayapan ke luar rumah itu kita bertemu seseorang yang diutus Allah untuk menyampaikan rezeki kepada kita.
Semua di Dunia Berpotensi Positif
Di dunia ini tidak ada potensi negatif—kecuali kita salah mengelola energi itu. Semua yang ada di dunia ini, termasuk energi, masih berupa potensi. Begitu ada di tangan khalifah, di tangan manusia, ia menjadi energi positif. Contohnya, kentut. Kentut itu energi positif. Coba, Anda tidak bisa kentut selama seminggu, tentu akan jadi masalah. Itu akan menjadi negatif untuk tubuh Anda. Tapi kalau keluar, itu positif—meski kadang menimbulkan bau negatif untuk orang-orang di sekitar Anda.
Dalam Al-Quran, Allah menyuruh kita melontarkan pernyataan: Rabbanâ mâ khalaqta hâdza bâthila. Wahai Pengasuhku, rabbunâ, tidaklah Engkau menciptakan semua ini untuk sia-sia. Tuhan bikin kalimat, tapi kalimat itu bukan dari Dia kepada kita, tapi kalimat kita kepada Dia. Kalimatnya bukan “Wahai manusia, aku tidak sia-sia menciptakan semua ini”. Dalam kalimat itu, kita yang ngomong, “Wahai Tuhan, tidaklah Engkau ciptakan semua ini untuk sia-sia.” Melalui susunan kalimat ini, Tuhan punya strategi dan diplomasi untuk mendorong Anda belajar.
Kalau Anda tidak belajar, tidak akan tahu makna kalimat tersebut. Anda tidak akan tahu segala sesuatu itu tidak sia-sia apabila tidak membuktikannya sendiri. Anda akan tahu setelah mengalami eksplorasi kekhalifahan dan membuktikan bahwa yang Anda alami itu positif, bermanfaat untuk Anda. Setelah itu Anda bisa bilang, rabbanâ mâ khalaqta hâdza bâthila. Jadi dalam kalimat itu, sebenarnya Tuhan mengajak kita. Makanya Dia tidak bilang, “Wahai manusia”, tapi kita yang disuruh ngomong, “rabbanâ mâ khalaqta hâdza bâthila”.
Sayangnya, sekarang ini kebanyakan orang ngomong rabbanâ mâ khalaqta hâdza bâthila tanpa punya pengalaman empirik, tanpa penelitian, tanpa bukti bahwa semua itu tidak sia-sia. Kebanyakan dari kita susah membiasakan diri untuk menafsirkan ayat-ayat seperti itu. Kita tidak berangkat dari pemikiran kritis: Kenapa kalimatnya dibikin begitu? Misalnya lagi, athî’ullâh wa athî’urrasûl wa ulil amri minkum. Dalam kalimat itu kan jelas: taatilah Allah, taatilah Rasulullah, dan pemimpinmu. Di depan kata “pemimpinmu” tiada kata “taatilah”. Yang ada kata “taatilah” hanya Allah dan Rasulullah. Kalau mau efisien, sebenarnya bisa dibikin begini: Taatilah Allah wa rasulullah wa ulil amri minkum. Tapi, dalam kalimat tersebut tidak begitu.
Dengan adanya dua “taatilah”, berarti ada kualifikasi antara Allah, Muhammad, dan pemimpin kita. Kalau Allah itu mutlak, taati saja karena di situ langsung athî’ullâh. Kalau Rasul, taati saja. Taat itu pun di wilayah ibadah mahdhah. Soal muamalahnya, apalagi syariatnya, fleksibel saja. Tidak semua yang tidak dilakukan Muhammad, tidak boleh Anda lakukan. Begini haram, begitu haram. Tidak begitu. Kalau semua harus begitu, bisa-bisa Anda sekalian sekarang ini telanjang. Rasulullah tidak pernah pakai kaus, tidak pernah pakai celana, tidak pakai ponsel, sound system, atau listrik. Kalau memang harus mutlak seperti itu, ya Anda harus meninggalkan semua itu.
Hal yang kita harus taat seratus persen itu adalah pengajaran Rasulullah tentang ibadah mahdhah: shalat lima waktu, syahadat, atau lima Rukun Islam. Di luar itu terserah, mau bikin Demokrat, SSI, atau Majelis Daun-Daun, silakan. Mau bikin Wali Band, Sunan Kalijaga and The Gank, atau Sunan Bonang Harley Davidson Club, terserah. Tapi, kalau pilih-pilih nama, ya jangan asal saja. Seperti pakai nama wali buat klub motor atau band. Itu namanya menjual murah. Kalau mau menggunakan istilah “wali”, mbok ya dipelajari dulu apa itu wali, dan seharusnya Anda berperilaku meneruskan kewalian yang mencerminkan nama yang Anda gunakan. Kira-kira begitu. Tapi sekarang ini, istilah-istilah dipakai sembarangan.
Bahkan nama Rasulullah juga digunakan sembarangan, sebagai nama kelompok, lalu memenuhi jalan, konvoi sepeda motor tapi tidak pakai helm. Masa Rasulullah memenuhi jalan? Masa membawa nama Rasulullah, tapi bikin pengendara jalan terganggu, dan bayi-bayi yang digendong ibunya terpaksa jalan kaki ke rumah sakit karena tidak bisa lewat. Mengusung nama Rasulullah tapi naik motor tidak pakai helm dengan alasan bahwa Rasulullah tidak pernah pakai helm, rusak semuanya kalau berpikir begitu.
Terus ada lagi yang marah kepada seorang ustadz karena berpakaian biasa. Katanya, seorang ulama harus berpakaian seperti ulama—tidak bisa berpakaian seperti orang biasa. Itu rumus dari mana? Ulama yang baik itu berpakaian selayaknya orang yang paling miskin di antaramu. Ulama harus bisa jongkok sama orang yang nambal ban. Itu ulama. Kalau ulama harus berbeda, itu namanya bukan ulama, tapi ludruk (pertunjukan pentas seni peran khas Jawa Timur—ed.).
Kalau Anda ulama, sebisa mungkin sembunyikanlah keulamaan Anda. Anda bisa menunjukkannya bila Anda punya tarekat sendiri. Silakan saja kalau begitu, selama Anda tidak menyuruh atau memaksa orang lain mengikuti tarekat Anda.
Saya yakin Allah punya skenario. Allah sedang bekerja. Yâ fa’al, yâ fa’al, fa’al limâ yurîd. Allah sedang bekerja sangat keras hari ini. Saya tidak tahu skenario-Nya, saya bingung pada adegan-adegan-Nya, tapi saya yakin ending-nya akan baik.Kita harus yakin seperti itu. Kita harus yakin bahwa Allah punya skenario terbaik untuk kita semua dan Allah pasti menerima semua amalan kita. Kuncinya, kita harus terus yakin dan yakin.
Misalkan membaca Al-Quran, harus yakin amalan bacaan kita pasti diterima. Kalau hati ikhlas dalam membaca Al-Quran, yakinlah amalan Anda itu diterima. Jangan meragukannya. Masa setelah baca Al-Quran masih ngomong “mudah-mudahan Allah menerima”. Ya nerima lah. Anda membaca Al-Quran beneran enggak? Kalau beneran, kok habis membaca masih pakai “mudah-mudahan”. Kalau beneran, hati Anda ikhlas membacanya hanya untuk Allah, ya diterima. Seandainya yang seperti itu saja tidak diterima, lantas bagaimana dong hidup kita? Apa yang akan jadi pegangan kita? Yakin diterima, dong ..., masa enggak diterima?
Sudah nikah, sudah berusaha bikin anak, kok masih “mudah-mudahan pernikahan kita diridhai Allah”. Ya, diridhai lah. Masa Anda tidur dengan suami atau istri Anda sendiri, yang sudah sah secara agama masih ragu bakal diridhai, apa enggak? Kalau begitu, letak yakinmu di mana? Letak imanmu di mana?
Ada posisi doa, ada posisi yakin, kan begitu. Itu ada batasnya. Ada bedanya. Kalau yang seharusnya yakin kamu masih berdoa, misalnya sudah jadi suami atau istri, masih berdoa mudah-mudahan jodoh, itu gimana sih? Sudah tidur bareng setiap malam, masa masih berdoa “mudah-mudahan jodoh”.
Saya bikin acara Maiyah di mana-mana untuk mengajak agar Anda selalu yakin. Jalan saja terus. Yakinlah apa yang Anda yakini akan terjadi. Perkara ternyata tidak terjadi, ah sudah biasa .... Begitu sajalah. Yang penting shalawatan lagi, istighatsah lagi, rabbanâ âtinâ fîddunya-hasanah …, âmîn yâ rabbal ‘âlamîn. Tidak terkabul, tidak apa-apa. Berdoa terus, terus, dan terus, jangan pernah berhenti. Begitu sajalah. Tidak ada waktu untuk tidak yakin. Selalu iya, yakin, iya, iya, berjalan terus maju ke depan. Kalau berusaha bikin anak, selama masih belum jadi, terus nekad, nekad, nekad, yakin, yakin, yakin, sampai jadi.