Kalau ada orang tersesat, tolonglah dia. Tunjukkan jalan, dan kasihanilah dia.
Pemimpin itu “amir”. Sebutan amir itu dipakai untuk orang yang sedang memimpin, tapi pada hakikatnya dia “disuruh untuk menjadi pemimpin”. Gubernur, bupati, atau presiden itu amir.
Tidak ada orang yang mau disuruh-suruh tanpa dibayar. Di Indonesia ini kan sudah ada yang jadi amir: dibayar sampai pensiun, diberi fasilitas, mobil, rumah dinas, dan seterusnya, dan itu artinya mereka wajib menjalankan perintah-perintah rakyat. Presiden, kabinet, DPR, semuanya, yang di eksekutif, legislatif, yudikatif itu wajib ‘ain menjalankan perintah rakyat. Mereka semua amir.
Karena tidak dibayar, Anda bukan amir, bukan suruhan rakyat. Dalam posisi itu, kalau Anda ikut memikirkan Indonesia, berarti bersedekah. Anda melakukan ihsan—kebaikan luar biasa. Saya tidak punya kewajiban menolong Anda tapi saya mau menolong Anda, itu ihsan. Jadi, kita melakukan itu, memikirkan Indonesia, karena cinta sama Indonesia. Hanya saja jangan sampai stres, karena itu akan merugikan Anda sendiri.
Anda punya peluang mendapat pahala yang luar biasa besarnya karena menolong Indonesia semampu Anda, kendati sebenarnya masih belum bisa juga menolongnya. Anda tidak bisa menolong presiden atau menteri, karena mereka tidak mau ditolong. Lurah saja belum tentu mau ditolong. Mungkin memang bukan tugas Anda untuk menolongnya. Mungkin itu tugas tetangga Anda atau kenalan Anda yang jauh di sana. Kalau Pak Lurah minta sumbangsih pemikiran, Anda kasih saja. Tapi kalau dia tidak minta, Anda mau kasih pakai strategi apa pun, belum tentu dia mau menerima.
Kita bukan amir, bukan pemimpin, kita hanya orang biasa. Kalau mencintai Indonesia, kita dapat pahala. Kalau membantu Indonesia, kita dapat pahala berlipat-lipat karena fungsinya adalah sedekah—hukumnya sunnah. Posisi kita sekarang ini malah asyik. Tapi jangan tidak memikirkan Indonesia, hanya saja jangan sampai pemikiran itu menjadi beban Anda.
Dalam membagi pikiran tentang Indonesia, saya memilih tempat paling inti di negeri ini: yaitu lingkungan wong cilik. Untuk aktivitas ini, saya tidak pernah meminta biaya dari pemerintah, tidak punya sponsor, tidak mengemis pada siapa-siapa. Kami tidak mau mengganggu Indonesia. Indonesia ini punya masalah besar, masa mau kita ganggu? Ketika beberapa waktu lalu ada sebuah kementerian yang mau mengongkosi Kiai Kanjeng ke Spanyol, kami tolak. Bukan apa-apa, bukan kami sombong. Rakyat kan masih banyak masalah, masa uang segitu banyak hanya dipakai buat tiketnya Kiai Kanjeng?
Mungkin Anda tidak bisa mengatasi masalah, saya tidak bisa mengatasi masalah, tapi paling tidak kita tidak menambah masalah, tidak menambah beban rakyat. Pikirkanlah Indonesia, maka Anda akan dicintai Allah, insya Allah. Karena, mencintai sesuatu yang Anda tidak punya kewajiban mencintainya. Kalau Anda presiden, berkewajiban mikir Indonesia. Kalau Anda sebagai presiden bisa makan enak sementara ada orang yang pernah berpuluh-puluh tahun hidup di tempatnya, punya anak turunan di sana, tapi kemudian harus kehilangan tempat, kehilangan pekerjaan karena digusur, Anda akan mendapat wahbah dari Allah yang luar biasa besarnya.
Makanya, jangan jadi pemimpin kecuali Allah memerintahkan Anda. Kecuali rakyat sadar tentang apa itu pemimpin. Gubernur itu belum tentu pemimpin. Dia petugas, tenaga kerja. Presiden itu TKI-1: tenaga kerja Indonesia urutan 1. Wakil presiden urutan 2. Kan, begitu.
Hati-Hati Berpersepsi
Pemahaman kita terhadap segala sesuatu sekarang ini sedang diacak-acak. Misalnya dalam kasus Ahok—harus lihat dari banyak sisi. Anda jangan gampang termakan isu atau segala macam pernyataan. Misalnya, pernyataan yang menyebut: “Kalau Anda tolak Ahok, berarti anti-Cina!” Yang begitu itu, bagaimana tafsirnya, coba?
Anda harus waspada. Media sosial itu isinya ketidakwaspadaan global. Semuanya ditelan, dikeluarkan lagi, di-copas, copas, copas, kan, gitu. Soal kalimat “kalau Anda anti-Ahok berarti Anda anti-Cina” itu, artinya, satu, harus menerima Ahok supaya tidak dibilang anti-Cina. Dua, Ahok sama dengan Cina. Kalimat itu adalah penegasan bahwa Ahok adalah Cina. Kalimat itu bahaya banget. Maka, Anda perlu kembali ke sumber primer.
Semakin banyak kita berkalimat-kalimat, kalau tidak waspada, akan terjebak. Ahok itu bukan sesuatu yang sifatnya primer atau fokus. Ahok itu hanya peluru. Anda harus tahu senapannya apa, siapa yang memegang senapan itu, dan siapa yang membayar pemegang senapan itu. Isu itu cuma output kesekian dari sumber yang berada beberapa langkah di belakang isu itu. Kalau tidak waspada, Anda akan bingung, takut Ahok jadi presiden atau jadi gubernur.
Zaman Ya‘juj-Ma‘juj
Anda kenal Iblis? Anda kenal Dajjal? Pernah dengar Ya‘juj-Ma‘juj? Mana yang tertua dari ketiganya? Iblis. Kalau Anda menyimak riwayat-riwayat yang dituturkan oleh Allah dan dari perpustakaan Islam, Iblis dan Malaikat Jibril itu duluan Iblis. Dia itu malaikat paling senior. Tapi ada yang lebih senior dari Iblis, yaitu nur Muhammad. Sebelum ber-tajallî atau mewujud menjadi Muhammad bin Abdullah, yang dilahirkan melalui ibunya, Muhammad adalah gelombang dan cahaya.
Lalu, kapan Ya‘juj-Ma‘juj atau Dajjal itu lahir?
Dajjal itu kan dikenal setelah ada informasi atau cerita-cerita dari para nabi, terutama dari Rasulullah Saw. Nanti akan ada Dajjal itu yang begini, Ya‘juj-Ma‘juj itu begini—di Al-Quran juga ada Ya‘juj-Ma‘juj—dan seterusnya. Jika dilihat dari eskalasi waktu berdasarkan kelahirannya, menurut saya urutannya begini: Iblis duluan, lalu Dajjal, baru Ya‘juj-Ma‘juj.
Untuk bisa “mencerna” kehadiran mereka, kita perlu bertadabur: Dajjal ini sebenarnya sudah hadir sejak 700 tahun lalu, hingga pengaruhnya memuncak pada abad ke-17—dan sekarang pengaruhnya sudah berlaku di seluruh dunia. Dajjal itu satu cara pandang, di mana Anda ditipu—Anda akan menganggap surga adalah neraka—dan diiming-imingi sesuatu dan membuat Anda tertarik, padahal itu neraka. Semua itu sudah terjadi pada kebudayaan, filsafat, pada apa saja. Inilah mungkin yang dimaksud Allah dengan, “Aku bikin tampak indah dunia itu bagi orang-orang yang kafir.”
Sekarang ini, Dajjal sudah berlaku dalam sistem politik, kebudayaan, serta sistem nilai dan kepercayaan. Semuanya ada Dajjalnya. Semua kebijakan politik itu sebenarnya berdasarkan cara berpikir Dajjal, yang membuat penglihatan manusia terhadap surga dan neraka jadi terbalik.
Semua orang pada sibuk ingin ke surga, tapi yang dibayangkan sebagai surga adalah rumah yang sangat besar dan istri yang cantik-cantik, banyak lagi. Aspirasi kebanyakan orang tentang surga adalah aspirasi materialisme. Membayangkan surga dengan cara materialistik. Padahal, surga bukan begitu.
Allah mengabarkan kalau surga itu ada empat, warnanya hijau tua, lalu ketika Anda di sana nanti punya bawahan yang namanya sesuatu yang mengalir—yang disebut sungai. Sungai yang dimaksud itu tidak ada airnya, tidak ada tanahnya, tidak ada lumpurnya, tidak ada rumputnya, tapi dititikberatkan pada alirannya. Kalau ada sungai yang tidak ada airnya, Anda tetap mengatakan itu sungai. Jadi, jelas kan kalau sungai itu sebenarnya bukan air.