Alletta (Kerena Melupakan, Tidak Semudah Jatuh Cinta)

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #1

#1

Di hari yang gerimis saat baru turun dari pesawat.

           Yang aku ingat dari kota ini adalah; Kedai kopi di setiap sudut kota yang gagal menyatukan romansa kopi dengan buku bacaan karena disaat bersamaan mereka memasang wifi sehingga pengunjung larut dalam maya yang lama. Aku juga mengingat bagaimana sulitnya menjalani hidup saat kuliahku tak tuntas. Meninggalkan kampus yang membuatku salah jurusan karena mengikuti kemauan orang tua. Bagaimana mungkin, aku yang mengutarakan kepada mereka ingin menjadi seorang penulis malah dipaksa masuk ke fakultas pertanian dengan alasan bahwasanya aku dijamin dapat masuk dengan mudah ke suatu intansi pemerintah tertentu karena posisi orang tuaku? Ah, nepotisme! Aku bukan orang yang tepat untuk mengisi posisi yang orang tuaku inginkan itu.

           Lantas aku pun mengingat tentang suatu tempat dimana banyak hal berawal di situ. Sebuah sekolah emergency untuk anak-anak putus sekolah di pinggiran kota ini, Taman Sore. Bertahun menjadi relawan di sana, sampai nasib membawaku ke Jakarta untuk mencapai impian yang lebih besar lainnya, menjadi seorang penulis skenario. Ya, aku menjalani beberapa proses dalam hidup. Berawal menjadi seorang penulis novel, puisi dan kini skenario film. Hal yang membuatku berpikir untuk naik menjadi sutradara dan produser suatu hari nanti.

           Dan terakhir, yang aku ingat dari kota ini ialah, Alletta.

           

*

           Dua tahun aku telah meninggalkan kota ini dan hanya pernikahan yang mampu membawaku kembali. Tapi ini bukan pernikahanku. Ini pernikahan sahabatku, Renata. Aku bukanlah orang yang menyukai pesta (lagi), aku jarang memenuhi undangan pesta yang diadakan teman-teman atau kolegaku apalagi menyelenggarakan sebuah pesta, karena itulah aku sering dianggap antisosial oleh banyak orang. Anehnya aku nyaman dengan julukan itu. Aku bosan dengan pesta karena aku sudah melewatkan puluhan pesta bersama perempuan berbeda dahulu.

           Pesta tidak pernah menarik lagi –obrolan basa-basi, wine terbatas dan gimik berdansa, ayolah, aku bisa menikmati semua itu kapanpun aku mau. Akan tetapi untuk kali ini, aku memutuskan datang bukan karena pestanya, namun karena Renata.

           Sudah satu jam semenjak aku menginjakkan kakiku di Lampung, aku masih menunggu di lounge Bandara Raden Intan. Menikmati long black coffee sambil menunggu penjemputku datang. Lounge tampak sepi, selain petugas kasir dan dua orang pelayan, hanya dua meja yang terisi, mejaku dan meja lain di dekatku yang diisi sepasang anak muda yang seperti berpacaran. Gerimis tampak masih dengan intensitas yang sedikit lebih besar di pick up area, menampilkan banyak orang yang berlari kecil menuju taksi bandara.Sementara itu, di televisi yang terdapat di lounge ini, diputar lagu daerah Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai, sebuah momen random yang terpaksa harus aku jalani.

Sebenarnya ada perasaan kecil menelusup dalam benakku, aku merasa pulang ke rumah tetapi bukan rumah yang aku betah. Lampung tidak terlalu cocok untukku yang bekerja dengan mengandalkan kreatifitas. Industri kreatif di sini belum terbangun dan untuk alasan itu aku memilih pindah ke sebuah desa yang tenang di Bantul, Jogjakarta, tempat semua ideku menjadi nyata lewat layar lebar atau sebuah novel. Pernah suatu waktu pengambilan gambar untuk film yang diangkat dari novelku mengambil set di Lampung, tapi aku tidak bisa ikut dalam proses shooting karena mengerjakan skenario untuk film berikutnya, jadilah hari ini aku perdana pulang ke Lampung setelah dua tahun lalu.

           Bersama Renata, aku pernah bermimpi untuk memajukan industri kreatif Lampung dengan mengekspos segala kegiatan komunitas anak muda lewat website yang kami kelola. Juga lewat The Scene, production house kecil yang kami dirikan. Terkadang kamipun mengadakan event kecil yang melibatkan para pelaku indie, baik dari musik maupun literasi, tetapi kemajuan yang kami harapkan tidak terlalu signifikan. Lampung terlalu pragmatis sehingga visi dan misi kami menemui kebuntuan. Lampung tidak berubah walau kami bertambah kaya karena website dan job yang meng-hire PH kami (Itupun kebanyakan datang dari luar Lampung).

Setelah bertahun-tahun kami bekerja sama, kami memutuskan berpisah sementara, lebih tepatnya karena aku memutuskan bekerja bersama salah satu sutradara terkenal di negeri ini, Setiadi Gautama yang pernah mengadaptasi novel pertamaku ke film. Aku pindah ke Jakarta dan segalanya perlahan menjadi lebih baik bagiku, setelah itu aku menyewa sebuah cottage di Jogjakarta sampai hari ini. Sementara itu Renata dan teman-teman masih tetap tinggal di Lampung.

Terdengar suara pemberitahuan tentang maskapai yang terpaksa delay karena cuaca makin buruk saja, hujan semakin besar dan aku merasa musim hujan datang lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba aku teringat lagi bahwa di musim hujan beberapa tahun lalu, ketika bulan November, aku pernah membuat Rain Poems Festival bersama Renata. Acara itu melibatkan beberapa penyair lokal Lampung yang berpuisi di tengah hujan. Ada yang berpuisi di panggung, ada yang ditengah penonton sambil hujan-hujanan. Acaranya berlangsung dramatis bagi penikmatnya, akupun sempat ambil bagian untuk membaca puisi. Meskipun setelah itu aku demam beberapa hari.

Penundaan tersebut membuat pasangan yang duduk di meja dekatku tampak senewen, meracau kepada pihak maskapai yang tentu tidak mendengar ocehan mereka. Ayolah, siapa yang mau mendengar suara anak muda? Ah, maaf, aku terlalu berlebihan pada bagian ini. Untuk killing time, aku kembali mengambil Norwegian Wood, Haruki Murakami dari ransel, membaca bab-bab yang belum terselesaikan. Sudah sebulan lebih aku membaca novel ini dan belum juga tamat, pekerjaan membuatku sulit mendapatkan kesempatan untuk membaca, hanya di pesawat tadi aku sempat membaca, itupun hanya dua bab yang sempat terbaca karena penerbangan ke Lampung dari Jogjakarta tadi, pesawat banyak mendapat turbulensi. Aku memilih tidur saja daripada muntah di business class.

Satu paragraf baru kubaca ketika perhatianku teralih kepada seseorang yang memanggilku, itu Thomas, ia datang bersama Deva. Para penjemputku sudah datang dan aku harus menutup kembali Norwegian Wood.

“Woy mata panda. Jadi selama dua tahun pergi, lo nggak tidur?” Thomas mengamati gurat hitam di bawah mataku sebelum akhirnya kami bersalaman dan berpelukan.

“Gue udah lupa gimana caranya tidur yang baik dan benar!” jawabku pada Thomas sembari menyalami Deva.

“Udah nyoba ngitung domba?” kini ganti Deva bertanya.

“Setiap ngitung domba, bukannya ngantuk, gue malah mau panggang domba-domba itu!” jawabku sekenanya.

Lihat selengkapnya