Alletta (Kerena Melupakan, Tidak Semudah Jatuh Cinta)

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #2

#2

Mobil memasuki pelataran sebuah hotel megah di bilangan Jalan Gatot Subroto, tempatku menginap sekaligus tempat Mauri menungguku dan juga tempat esok resepsi dilaksanakan setelah akad nikah di rumah Renata. Aku check in terlebih dahulu sebelum menemui Mauri di restoran, Mauri memang mengundang kami makan malam sebagai langkahnya untuk pendekatan kepada kami, sahabat-sahabat Renata.

Thomas dan Deva langsung menuju restoran, sementara aku menuju ke kamarku berada di lantai delapan. Ini pertama kalinya aku menginap di sini dan aku beruntung mendapat kamar bergaya Eropa dengan tempat tidur dekat dinding kaca sehingga aku bisa melihat pemandangan malam pesisir pantai Bandar Lampung setelah hujan hari itu. Sejenak aku berdiri mengamati lampu-lampu dari pemukiman di tepi pantai. Itulah Teluk Lampung yang berhias lampu-lampu dari kapal yang merapat di Pelabuhan Panjang, pelabuhan industri tersibuk di kota ini. Cahaya-cahaya itu memanjakan kornea mataku dan untuk sesaat aku biarkan diriku menikmati keindahan kecil ini.

           Ketika aku di Jogjakarta, aku sering melakukan ini, berdiri di teras rumah joglo yang kutinggali pada malam hari untuk melihat kebun bunga di halaman yang dihinggapi kunang-kunang pada waktu tertentu. Pemilik rumah joglo yang kusewa itu merupakan seorang pecinta bunga. Berbagai macam bunga tumbuh indah di halamannya, mulai anggrek, mawar, petunia, saliara,melati, teratai di atas kolam dan yang terindah dan menjadi pusat di kebun itu, bunga tabebuya. Aku menyukai cahaya-cahaya yang hinggap bersama angin malam yang membawa aroma sinergi bunga-bunga itu, membuatku lupa mitos angker kunang-kunang.

           Ah, dimanapun cahaya berada, darimanapun sumbernya, cahaya hanya butuh titik untuk menjadi pembeda dalam dominasi gelap, selain itu, aku tidak bisa berfilosofis lagi tetang cahaya.

           Alletta menyukai cahaya, ia menyukai lampu-lampu kota, ia juga menyukai cahaya dari gelang-gelang lumstick yang ia lihat di konser Coldplay lewat You Tube.  Ia selalu terperangah saat melihat apapun yang bercahaya di langit malam, seperti kembang api atau lampion, wajah innocent -nya saat mengagumi cahaya masih kuingat sampai saat ini, sedetail-detailnya.

           “Gimana ya, kalau nggak ada cahaya?” selorohnya waktu itu saat melihat rentetan lampion yang beterbangan ketika perayaan Imlek.

           “Aku nggak bisa lihat kamu, Alletta,” kataku sembari memasangkan jaketku kepadanya, malam itu begitu dingin apalagi kami berada di salah satu taman di dataran tinggi Bandar Lampung, duduk berdua di sebuah bangku tepat di bawah remang lampu taman.

           “Itu bukan masalah yang berarti, Raka!” katanya sembari tersenyum kecil setelah itu.

           “Itu masalah bagiku. Kamu nggak akan pernah menyadari!”

Alletta tak menjawab apapun dan kini ia mengalihkan pandangannya terhadapku. Ia menatapku beberapa detik dan itu sangat krusial bila aku harus lewatkan tatapannya, masa bodo dengan lampion merah yang terus beterbangan dari sebuah kelenteng di bawah kami.

           “Kamu terlalu terbawa perasaan, Raka!” ujar Alletta.          

“Aku lagi jatuh cinta, Alletta,” aku mengatakan kepadanya dan itu serius.

           “Sama siapa?”

           “Nih, yang lagi aku tatap!”

Alletta tertawa kecil dan menganggap ini semua lelucon, “Kita baru kenal satu bulan!”

           “Satu bulan lima hari!”

           “Terus?”

           “Kamu harus jadi pacarku!”

           “Terlalu cepat, kamu belum kenal hatiku!”

           “Karena itu kita harus pacaran!”

           “Kamu harus pikirin dulu, karena aku juga akan mikir-mikir pacaran sama playboy kayak kamu!”

Aku mendengus, “Aku bukan playboy! Perempuan-perempuan itu cuma teman. Buktinya  sebulan ini aku lebih sering sama kamu, kan?”

           “Apa yang kamu sebut teman itu mungkin beda sama apa yang mereka pikirin!”

           “Salah mereka dong, kebawa perasaan!” aku masih berkelit.

           “Berarti kamu juga salah kebawa perasaan sama aku?” Alletta selalu saja bisa membalikkan ucapanku.

Aku berpikir sejenak, menghela napas untuk meyusun strategi.

           “Kamu pikirin lagi!” Alletta kembali bersuara.

Aku menatapnya, “Aku udah pikirin dan cuma kamu satu-satunya yang aku pikirin!”

Alletta menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum, senyum yang dipaksakan, “Gimana kalau ternyata aku udah punya pacar atau aku mencintai orang lain?”

Lihat selengkapnya