Aku terhenyak saat mendengar suara bel yang ditekan berkali-kali, aku kesiangan dan langsung bergegas membukakan pintu dimana kudapati Deva dengan setelan jas rapi memandangku dengan kesal. Aku belum melakukan apa-apa, aku benar-benar baru bangun, bahkan aku masih memakai t-shirt semalam yang penuh dengan noda champagne. Kacau sekali aku pagi itu.
“Akadnya setengah jam lagi!” Deva menunjuk pada jam tangannya.
“Apa lo nggak keberatan nunggu?”
“Go!” Deva langsung menyuruhku ke kamar mandi.
Aku menyadari banyak yang belum aku siapkan, di bawah guyuran shower aku memikirkan bagaimana cara memakai setelan jas lengkap dengan cepat, akupun memikirkan tentang janggut dan kumisku yang belum kucukur. Champagne semalam sialan! Aku merasa menyesal minum lebih dari tiga gelas besar.
Hanya dengan melilitkan handuk di pinggang, aku meminta Deva meyiapkan sepatuku sementara aku menyiapkan setelan jasku, aku langsung berpakaian serapi dan secepat mungkin. Aku segera memakai pantovel dibantu oleh Deva yang mengikatkan tali sepatuku, pagi itu Deva seperti nanny-ku saja.
Setelah dirasa cukup, sambil memasang dasi, aku dan Deva langsung berlari kecil menuju lift. Aku sadar kami sudah telat, mungkin saat ini Mauri dan Renata sudah duduk berdampingan di hadapan penghulu. Lift terlalu lama, Deva tak sabar, begitupun aku, lalu kami berinisiatif lewat tangga darurat. Kami lupa bahwa kami dari lantai delapan dan alhasil entah berapa kalori kami yang terbakar setibanya di lobi. Ini adalah joging milenial yang sangat menyebalkan. Dengan ngos-ngosan kami melanjutkan perjalanan menuju parkiran dan aku mengambil alih kemudi dari Deva dan langsung melesat seperti Dominic Toretto untuk membelah jalanan Bandar Lampung.
Sesampainya di lingkungan rumah Renata yang tampak ramai, kami langsung menuju tempat parkir yang sudah sedikit penuh, tapi karena ketelitianku, aku melihat sebuah ruang yang lumayan luas. Ketika menuju ke situ, seorang petugas parkir memberhentikan kami. Aku segera membuka kaca mobil.
“Maaf Mas, nggak bisa di situ,” katanya dengan sopan.
“Memang kenapa? Bukannya di situ masih luas?” protesku kepada petugas parkir yang berpakaian batik itu.
“ Sekali lagi maaf, Mas, itu untuk rombongan pengantin pria,” jawabnya.
“Hah? Pengantin pria belum datang?” aku benar-benar terkejut, apa Mauri benar-benar kesiangan?
Petugas parkir itu hanya mengangguk dan mengarahkanku pada space lain untuk parkir.
“Sebaiknya lo aja yang gantikan Mauri nikah sama Renata!” ujar Deva yang tampak kesal.
Aku melirik sinis pada Deva, “ha ha ha!” tertawa palsu.
Setelah urusan parkir selesai, aku segera membuka pintu mobil untuk turun. Aku ingin segera bertemu Renata setelah tiga tahun perpisahan kami.
“Raka, tunggu!” Deva menahanku, ia tampak mengambil tasnya di jok belakang dan mengambil sebuah kamera.
“Renata nitip ini buat lo!” Deva menyerahkan kamera itu.
Aku menerimanya, kamera itu ialah kamera pertama yang aku dan Renata beli setelah setahun menyisihkan pendapatan kami. Kamera yang merupakan saksi bisu perjuangan aku dan Renata untuk membangun The Scene. Kamera ini pun pernah beberapa kali mengabadikan Alletta dalam diafragmanya sehingga menjadikan kamera itu memiliki nilai historis yang dalam bagiku pribadi.
“Renata mau lo yang nyimpen!” lanjut Deva lagi.
“Karena dia udah punya Leica S ?” gurauku.
“Really?” Deva tersenyum kecil.
Aku tidak bisa berkata lagi, hanya mengamati kamera itu, kamera yang juga pernah kupakai untuk memfoto Alletta..
*
Aku menyalami satu demi satu keluarga besar Renata yang sudah hadir, itu sangat melelahkan, akupun sempat mengobrol dengan orang tua Renata juga Rinda dan Bimo, kedua adik Renata. Secangkir kopi dan empat buah brownies sudah aku lahap habis namun Mauri belum juga datang. Aku mulai menangkap kegelisahan dari wajah orang tua Renata, terlebih Papa Renata yang berkali-kali sibuk dengan telepon di ponselnya.
“Udah, Om, Tante, Si Raka aja yang jadi pengantinnya!” tiba-tiba Thomas menghampiri kami, ia datang bersama Helena, pacarnya.
“Raka sama Renata itu udah kayak kakak adik, masa mau nikah!” Mama Renata menimpali sambil bercanda. Mama Renata saat itu berpenampilan sangat anggun dengan gaun gamis bercorak tapis di beberpa sisinya, masih cantik di usianya yang sudah lebih dari 50 tahun.
“Denger, tuh!” aku mendukung pernyataan Mama Renata.
“Tante, aku boleh ketemu Renata?” tanya Helena.
“Oh, Renata di kamarnya, padahal udah di make up dari dua jam lalu. Ke sana saja!” Mama Renata mempersilahkan.
“Kami boleh ikut, Tante?” kini ganti Thomas bertanya sembari sedikit menyenggol pinggangku.
“Oh iya, Raka juga belum ketemu Renata, ya? Ya sudah, Rinda, antar Helena dan temen-temen kakakmu ke kamarnya!” perintah Mama Renata kepada Rinda, Adik Renata sebelum si Bungsu Bimo.