ALMIRA

Andi Sukma Asar
Chapter #1

Bab 1. Helai-helai Kenangan


Teh hangat baru saja kusesap habis. Temaram langit Jakarta yang mulai memeluk bumi tidak membuatku ingin meringkuk di kamar setelah dua jam yang lalu aku baru saja tiba dari Makassar. Meskipun sedikit merasa lelah, aku tetap ingin menikmati indahnya ibukota di malam hari ini. Hal yang sudah lama sebenarnya aku inginkan.


Angin yang merajuk membuatku segera beranjak dari tempat duduk. Sudah setengah jam aku duduk di teras hotel setelah koper dan ransel aku simpan di kamar. Aku menschrol layar ponsel dan sesekali menoleh ke sekitar halaman hotel yang diselimuti suasana temaram.


Ini beranda sejuk dengan luas kira-kira sembilan meter persegi. Kursi-kursinya terbuat dari kayu hitam dan modelnya antik. Dua diantaranya tanpa sandaran dan berkaki tinggi seperti kursi bar.


Ketika aku berpaling ke belakang dan pintu lobi terbuka, aroma cinnamon seketika menguar.


Di depan hotel, suara sempritan tukang parkir beradu dengan deru kendaraan yang semakin menyesaki Jalan Wahid Hasyim. Kini aku sudah berdiri di tepi jalan sambil berpikir, apakah aku harus ke kafe?


Setelah menoleh ke kiri dan ke kanan akhirnya kuputuskan menuju ke sebuah kafe yang terletak di ujung jalan. Kata si Ahmad, sahabatku yang baru pulang dari pelatihan di hotel seputar jalan ini, kopi di kafe itu sungguh enak.


Aku harus ngopi malam-malam begini? Lagi pula, rasa kopi di mana pun sama saja. Meskipun ditambah aroma vanila, pandan atau apalah, sama saja, nama dan rasanya tetap kopi.


"Lapar begini masak ke kafe?" Aku membatin.


Akhirnya langkah kakiku berbalik arah, sukses menelusuri trotoar menuju arah selatan.


Wah! Jalan raya semakin sempit. Tetapi trotoar semakin diperlebar. Dua larik malah. Satu trotoar khusus pejalan kaki dan satu lagi khusus kendaraan roda dua. Ini pasti ide brilian pemerintah kota yang cerdas. Memang, sejak pemerintahan kota yang baru, suasana kota berwajah ciamik, lebih fresh dan lebih cantik. Itu berita yang aku dengar dan baca di media sosial. Dan aku buktikan sekarang.


Aku pikir jalanan protokol semacam ini, yang didereti hotel berbintang, gedung pemerintahan dan resto terkenal akan bebas dari pedagang kaki lima. Rupanya aku salah. Kehadiran mereka justru menambah riuhnya geliat kuliner ibukota di malam hari. Hampir di sepanjang jalan ini asap mengepul menyatu dengan deru kendaraan yang lalu lalang.


Aku berdiri sejenak di depan salah satu pedagang kaki lima. Tidak lama kemudian duduk di dekat beberapa wanita berkemeja putih. Dari pembicaraan mereka aku bisa memastikan bahwa mereka baru saja direkrut sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Semringah terpancar di wajah mereka.


"Mau sate juga, Mbak?" tanya seorang pria paruh baya. Ia sedang mengipas sate di panggangan.


Aku mengangguk sambil tersenyum padahal sebenarnya kusembunyikan rasa terkejutku. Hayalanku buyar. Aku mengingat saat pertama kali direkrut menjadi pegawai di sebuah kafe, seperti perempuan-perempuan di sampingku ini. Namun aku hanya bertahan beberapa minggu saja. Pada akhirnya sebuah perusahaan desainer membuka cabang di kota Makassar akhirnya meloloskan CV ku.


Setelah para perempuan itu makan, satu di antara mereka merogoh saku bajunya lalu mengeluarkan uang lembaran seratus ribu. Aku pikir dia akan membayar makanannya sendiri. Ternyata dia malah membayar semua makanan temannya. Aku tidak tahu apakah mereka itu baru saja berteman setelah mereka sama-sama diterima sebagai karyawan, atau mereka sudah berteman sudah lama lalu mereka sama-sama mendaftar lalu semua lulus. Yang aku lihat, perempuan berkaca mata minus itu sungguh senang membayarkan makanan semua temannya itu. Masya Allah. Lalu yang ditraktir? Tentu saja wajahnya terlihat lebih senang.


Malam semakin jauh merangkak sementara kehidupan malam semakin menggeliat.


Kembali aku menelusuri trotoar yang masih ramai oleh pejalan kaki dan ojek on line yang berkumpul di bawah sebuah pohon. Tujuanku pulang ke hotel.


Tiba di kamar, aku membuka koper, mengeluarkan sehelai handuk dan piyama. Sejenak aku melihat file yang akan aku presentasikan besok pagi. Sebagai seorang desainer tas, aku akan memperkenalkan produk terbaru dari perusahaan tempatku bekerja. Syukurlah, Ibu Alexandrina, CEO Alexandrina design masih mempercayakan penuh kepadaku menciptakan desain tas yang bakal tren di tahun mendatang. Analisis-analisi seperti itu tentu saja bukan asal kuciptakan. Setahun yang lalu, atas izin Ibu Rina, aku memperoleh kesempatan menimba ilmu desain tas di negara Perancis.


Sebuah ketukan pintu sedikit mengganggu hayalan indahku.

Seorang anak muda datang memberi dua botol air mineral. Aku melihat ke meja. Oh! Memang air mineral harus ditambah.


Kini aku siap beristirahat. Besok aku harus terlihat segar dan meyakinkan saat presentasi produk. Terasa semringah wajah ini. Seketika pandanganku luruh pada ransel yang kuletakkan di kursi. Ransel itu penuh makna dan sejarah. Ia adalah karya pertamaku saat bergabung di D' Marni design atau Sekolah Desain Marni (SDM) di awal-awal aku menancapkan cita-citaku menjadi seorang perancang tas. Dari awal pembuatannya sampai selesai dipenuhi drama. Beberapa kali guru menyuruhku membongkar karena kesalahan yang sedikit saja. Seteliti dan serapi itu di sana. Sedikit saja kesalahan, para siswa harus memperbaiki sampai benar dan rapi. Sebuah karya harus diusahakan sesempurna mungkin untuk memperoleh kepercayaan. Begitu prinsipnya. Sampai kini dan kapan pun, pelajaran tak tertulis itu aku bawa ke mana aku pergi.

Lihat selengkapnya