Rumahku dengan sekolah dasar tempatku menuntut ilmu boleh dikatakan tidaklah terlalu jauh. Kira-kira tiga ratus meter saja. Bahkan dari rumahku bisa dilihat sekolah jika para murid bermain di jalan. Maklumlah, jalanan di depan sekolah sangat jarang dilalui kendaraan. Jadi selain di halaman sekolah para murid menjadikan jalanan tempat bermain sebelum masuk kelas.
Aku sering berangkat ke sekolah menjelang lonceng berbunyi. Dari rumah aku bisa melihat teman-teman yang sedang bermain di jalanan. Jika jalanan itu sudah sepi, artinya aku harus segera berangkat ke sekolah.
Meskipun jarak sekolah dengan rumahku tidak jauh dan lurus saja, tetapi aku sering pulang sekolah melalui jalan raya. Membelok ke arah kiri setelah keluar dari halaman sekolah. Karena aku akan mampir di pasar, di lost tempat orang tua Tri menjual dan bekerja sebagai tukang jahit. Sejak lama kedua orang tua Tri menjahit baju di pasar. Langganannya banyak karena kata orang jahitan ibu Tri bagus dan rapi. Jika ada kain bahan baju, ibuku kadang memakai jasa jahit ibunya Tri. Aku pernah dijahitkan baju oleh ibunya Tri, baju berwarna merah diberi renda di dada serta tali pita. Waktu itu, ibu memberiku hadiah baju itu karena aku sudah beberapa kali masuk rangking tiga besar.
Dua adik dan dua kakakku merasa cemburu. Lalu ibu bilang kalau mau dibuatkan baju baru harus masuk rangking sepuluh besar. Tapi kakak dan adikku tidak termotivasi oleh hadiah yang ditawarkan ibu. Belajar semaunya saja. Dapat nilai rendah biasa saja.
Berbeda dengan aku. Dapat nilai delapan saja aku merasa sedih sekali. Kadang tidak ada nafsu makan memikirkan nilaiku yang turun. Mata pelajaran yang dapat nilai kurang itu aku telusuri sampai aku dapat jawaban yang benar.
Saat sampai di toko Tri, aku langsung duduk di samping ibunya, melihatnya menjahit baju. Bunyi suara mesin kadang membuatku terhanyut. Apalagi jika ibunya Tri yang bernama Tante Bunga itu menjahit lama. Aku pun merasa enggan meninggalkan Tante Bunga. Dalam hatiku, aku ingin pintar menjahit. Kalau aku pintar menjahit baju, ibu tidak bakal menjahit lagi kepada orang lain.
"Kamu suka melihat Tante menjahit, Nisa?" tanya Tante Bunga pada suatu ketika. Ia berhenti menjahit lalu memandangku sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya lalu mengangguk. Di dalam hatiku suatu waktu nanti aku pasti akan pintar menjahit.
Ketika pulang ke rumah, ibu sering memarahiku kalau mengetahui aku mampir lagi di pasar. Tetapi aku tidak peduli. Setiap pulang sekolah aku tetap mengajak Tri ke pasar. Aku merasa sangat senang melihat Tante Bunga menjahit baju. Apalagi jika pas ada orang yang akan dijahitkan bajunya. Aku senang melihat orang itu diukur, badannya di balik ke kiri dan ke kanan.
"Kamu ini suka ke toko orang. Tidak malu kamu, Nisa?"
Aku ingin mengatakan tidak. Tetapi aku takut dimarahi ibu. Jadi aku diam saja.
"Itu sepupumu pintar menjahit. Kenapa kamu tidak ke sana?" Ibu menunjuk ke arah selatan tempat para sepupuku menjahit.
"Tante Bunga pintar menjahit baju, Bu. Baju-bajunya juga bagus. Kalau baju anak-anak dikasih renda di depan. Cantik sekali. Tapi kalau Kak Endah pinternya cuma bikin seperei."
Ibu terdiam mendengar jawabanku. Sebenarnya ibu tidak marah besar aku selalu mampir di pasar sepulang sekolah. Tapi ibu mungkin berpikir jika aku terlalu lama, aku pasti kelaparan. Lagi pula, ibu paham juga, sepupuku bukan penjahit baju tetapi penjahit seperei.
"Aku kan tidak mau menjahit seperei. Maunya menjahit baju, biar aku bisa membuatkan ibu baju suatu waktu nanti." Aku membatin.
Besok kalau pulang sekolah kamu tidak usah lagi ke pasar. Kalau mau melihat orang menjahit kamu ke rumah sepupumu sana. Di sana kamu bebas. Mau menginap juga boleh. Itu ucapan ibu saat aku akan berangkat ke sekolah.