Sejak bangun pagi setelah salat subuh aku di kamar saja. Merenung, berpikir dan menghayal saja. Aku ingin berbicara kepada burung yang kebetulan hinggap di daun jendela kamarku. Mungkin ia bisa bercerita kepadaku bagaimana ia bisa melompat dari ranting ke ranting dan bagaimana ia mengepakkan sayapnya agar bisa terbang tinggi dan bebas di udara, tanpa lelah.
Rasa lapar yang kutahan sejak habis sarapan seiris roti membuat lambungku terasa perih. Sebisa mungkin aku menahannya. Hanya ada sisa air minum kemarin di sekolah yang membasahi kerongkonganku.
Aku tidak ada masalah dengan ibu dan ayah. Hanya aku sedang malas saja keluar meskipun ibu atau ayah bergantian mengetuk pintu kamarku. Mungkin saja mereka telah melihatku lewat beberapa lubang kecil di pintu. Atau lubang dinding papan yang beranjak luruh karena lapuk yang bertahun-tahun. Aku juga berbohong kepada mereka dengan mengatakan aku tidak lapar. Padahal sungguh perutku terasa melilit.
Sejak semalam ibu dan ayah memanggilku di kamarnya dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup membiayai jika aku ingin kuliah. Sejak detik itu aku mulai unjuk rasa dengan bungkam. Aku sebenarnya sudah mengira-ngira ibu dan ayah akan menyampaikan seperti itu. Aku pasti akan mengikuti jejak dua orang kakakku yang tidak melanjutkan pendidikan formalnya. Mereka berhenti bermimpi dan harus puas setelah ijazah putih abu-ibu sudah di tangan mereka.
Aku tidak menjawab apa pun kepada ibu atau ayah. Tetapi sungguh aku tidak menerima hal itu meskipun aku sangat menghargai kejujuran mereka.
"Sudahlah, Nisa. Itu kakakmu merasa enggak apa-apa tidak kuliah. Mereka toh bisa belajar apa saja dengan membaca buku di perpustakaan kota setelah membantu ibu dan ayah jualan di pasar," kata ibu pelan.
"Belajar bukan sekadar membaca buku di perpustakaan, Bu." Aku menggumam dalam hati. Tidak sanggup aku mengeluarkan ucapan itu di hadapan ibu atau ayah. Aku paling takut melukai perasaan kedua oramg tuaku.
Ibu lalu memegang tanganku. Aku merasakan seonggok kesedihan dalam getar tangan ibu. Dalam kilatan matanya, aku menangkap mata ibu yang berembun.
Aku masih diam. Mulutku seperti dikunci seolah-olah menyimpan bumerang yang kapan saja bisa meledak. Ah, tidak. Hal iti tidak akan terjadi. Aku berusaha meredam perasaanku yang ingin mengatakan sejelas-jelasnya kepada kedua orang tuaku terutama kepada ayah, bahwa aku ingin mengubah hidup keluarga ini. Dua kakakku semuanya pasrah atas apa yang dititahkan ayah dan ibu. Mereka tunduk atas segala yang direncanakan kepada mereka. Tidak ada sedikit pun kekuatannya untuk sekadar menyuarakan keinginan dan cita-citanya.
"Kamu mau kuliah apa, Nisa?" tanya Ayah.
Aku menghela napas panjang. "Nisa mau jadi desainer, Yah." Lidahku terasa kelu.
"Kuliah desainer itu apa, Nisa? Buat kerja di kantor apa?" Giliran ibu bertanya.
"Merancang, Bu. Bisa baju atau tas. Gitu, Bu."
Ayah dan ibu saling menatap lalu memandang kepadaku. "Pasti uang kuliahnya mahal, ya, Pak," kata ibu lalu mengalihkan wajahnya kepadaku seolah-olah ada risau yang memagut wajahnya.
"Kalau belajar bikin baju, kamu belajar saja sama ibunya Tri," kata ayah.
Aku memandang ayah sekilas. Aku ingin menjelaskan kepada ayah, tetapi urung. Pasti akan panjang. Lebih baik aku diam.
"Iya, tuh, Nisa. Pasti biayanya murah. Kalau kamu mau, nanti kita sama-sama ke pasar, ya," kata ibu.