Hari ketiga sejak lulus SMA aku masih malas keluar dari kamar sejak bangun tidur. Sebenarnya ini bukan bentuk protesku atas ketidak berdayaan keadaan keluargaku mendukung keinginan terhadap salah seorang anggota keluarganya yang ingin berkembang lebih baik. Sungguh! Bahkan aku sangat kasihan kepada ayah dan ibu. Aku sangat paham kondisi keluargaku. Akan tetapi apakah aku harus berdiam diri menunggu hujan turun sementara aku butuh pelangi setelahnya?
Tidak! Aku harus berbuat sesuatu. Tidak mungkin aku membiarkan impianku yang indah, yang sudah kulesatkan ke langit biru terhapus oleh mendung tebal. Sungguh aku tidak rela. Sedangkan aku mempunyai cita-cita indah untuk keluargaku. Aku tidak ingin mereka terus-menerus hidup dalam kekurangan dan ketidakberdayaan. Aku ingin keluargaku dihargai di masyarakat.
Aku menarik napas panjang sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar gelisah. Aku tidak mau menganggur.
"Menulis cerita?" Ah, ini bisa saja aku lakukan tetapi sungguh memakan waktu yang lama untuk memperoleh hasil. Lagi pula, mengirim karya tulis di media belum sepenuhnya diterima. Diterima juga honornya belum tentu sesuai harapanku. Selain itu ponselku bukan android melainkan ponsel biasa yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan.
"Ah! Aku tiba-tiba ingat waktu awal-awal menjadi penghuni kelas biologi tiga. Yang ternyata sikap mereka ternyata hanya mengerjaiku."
*
"Ponsel kamu bisa wattsapp, enggak?"
"SMS doang, ya."
"Enggak bisa lihat yutub dong kalau gitu."
"Jangankan yutub, punya medsos aja enggak bisa."
"Instagram apalagi."
*
Aku tertawa mengingat kelakuan mereka. Seminggu kemudian malah kelas biologi 3 memberiku ponsel android di hari ulang tahunku.
"Tapi saat ini menulis cerita saja yang aku bisa. Aku tidak bisa memetik sayur, mengikat, apalagi ke pasar menjual seharian."
Aku lalu mencari buku di laci meja belajarku. "Dapat!" Senyumku mengembang sempurna serupa adonan roti yang sudah diproofing.
Aku membuka buku-buku yang halamannya sudah penuh dengan cerita-cerita yang aku buat saat kelas satu. Ada juga aku tulis di saat awal memasuki semester dua di kelas dua. Waktu itu aku ikut lomba menulis cerita pendek pada program sekolah yang mendatangkan seorang tokoh literasi nasional. Yang datang adalah duta baca Indonesia. Pak Gol A Gong. Beliau memberikan pendidikan menulis cerita pendek selama dua setengah jam di aula sekolah. Lalu membuat sayembara. Entah mengapa aku sangat tertarik. Mungkin karena aku memang suka membaca dan tertarik pada dongeng atau cerita fiksi lainnya. Dan kehadiran Gol A Gong memicu berkembangnya virus literasiku bagai perkembangbiakan amuba. Apalagi di menit terakhir beliau menggaungkan quote yang mampu membakar semangatku: membaca itu sehat, menulis itu hebat. Dari kegiatan itu cerpenku masuk kategori cerita terbaik.
Di dalam buku ini ada cerita unik yang ingin aku kembangkan sebenarnya. Mungkin saja setelah aku edit, lalu aku kirim ke sebuah media akan diterima dan aku dapat honor. "Hore!"
Dengan senyum mengembang aku kini sudah yakin mempunyai kegiatan positif dalam waktu dekat. Tidak mungkin aku berpangku tangan.
Pandanganku menyeberang melalui jendela ke hamparan kebun sayur orang tuaku. Kebun itu tidak luas. Tetapi ayah dan ibu konsisten memanfaatkan lahan itu secara optimal. Karena itu satu-satunya sumber pendapatan kami sekeluarga.
Buku yang berisi cerita ini aku simpan kembali di laci meja. Suatu waktu aku akan membuatnya menjadi cerita utuh. Tetapi aku harus belajar terlebih dahulu. Menulis cerita itu bukan asal menulis lalu selesai. Banyak hal yang membuat cerpen menarik seperti unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Apa juga gunanya aku membuat cerita kalau tidak bakal dilirik orang.
"Tapi aku harus mendapat biaya yang cepat. Apakah aku harus menjadi pelayan di rumah makan milik orang tua si Ana? Rumah makan yang terletak bersebelahan supermarket kota itu pernah aku lihat membuka lowongan kerja. Ana juga pernah bilang kepadaku ia mengajakku bekerja di sana. "Kalau kamu, Nisa, pasti diterima. Aku yang akan bilang sama ibuku," kata Ana meyakinkan aku.
Tetapi aku tak pintar memasak. Urusan dapur di rumah ada di tangan ibu, Kak Ratih dan Ratmi. Atau aku melamar baby sitter di perusahaan yang menyediakan layanan pengasuh anak? Eh, tetapi aku juga tidak biasa mengasuh anak. Dua adikku tak pernah kuasuh. Yang ada hanya aku dan kedua adikku itu berkelahi saja.
Kedua tanganku bergelayut di kepala. Memikirkan apa yang harus aku kerjakan sesegera mungkin.
Matahari sudah naik dan mulai memanggang bumi. Sungguh terik sinar matahari hari ini. Sebentar sore aku akan mencoba menelepon Ana. Semoga saja rumah makan milik orang tuanya masih membuka lowongan pekerjaan. Biarlah aku mencoba bekerja di sana. Itu cepat mendatangkan uang. Mungkin aku bisa mengerjakan yang lain tanpa harus memasak. Jadi pelayan misalnya. Atau menjadi kasir.
Sebuah ketukan di pintu kamarku. "Buka pintumu, Nisa."
"Oh! Itu suara ibu."