ALMIRA

Andi Sukma Asar
Chapter #6

Bab 6. Quote Penyemangatku


Keluar dari bandara internasional Husein Sastranegara aku segera memesan kendaraan on line menuju Jalan Setia Budi. Seorang wanita akan aku temui untuk menemaniku selama sehari atau dua hari di Bandung sebelum aku ke SDM. Wanita itu rekomendasi dan sahabat Tante Farida, ibunya Ana. Aku juga akan menumpang di rumahnya selama semalam atau dua malam sebelum aku mendapatkan kost. Duh! Dadaku terasa berdebar mengingat harga kost di Bandung. Harapku, semoga ada yang cocok di kantong.

Sudah setengah jam aku menunggu di tepi jalan. Namun wanita yang akan aku temui belum tampak batang hidungnya. Aku mengingat-ingat lagi. Wanita yang aku temui nanti bertubuh tinggi berkulit sawo. Lebih spesifiknya lagi berkaca mata.

Aku membalikkan tubuh ke belakang. Tampak rumah mode dengan halamannya yang luas. Seandainya aku bisa masuk ke rumah mode itu. Karena sepertinya di dalam itu menarik. Apalagi aku sedang menahan haus. Air mineral yang aku beli tadi waktu turun dari pesawat sudah habis. Tidak. Aku masih bisa menahannya. Aku harus belajar menahan diri dari segala sesuatu. Aku akan tinggal di kampung halaman orang, harus mandiri dan yang paling wajib adalah belajar berhemat. Pengorbanan kedua orang tuaku sungguh tak ternilai harganya. Semoga aku bisa menukarnya dengan kesuksesanku.

Aku sudah gelisah. Wanita yang bernama Tante Maria itu belum ada tanda-tanda akan datang. Kakiku sudah pegal berdiri di tepi jalan raya. Matahari bersinar sangat terik. Untung saja tempatku berdiri ada pohon besar sehingga aku bernaung di bawahnya.

Sebuah sepeda motor berhenti di depan pintu gerbang rumah mode. Aku memerhatikan dan mengingat ciri-ciri wanita itu. Itukah wanita yang akan menemuiku?

Aku bangkit dari dudukku lalu berjalan menuju wanita itu. "Maaf. Ibu Maria?" Aku berusaha sesopan mungkin.

Wanita itu menatapku dari ujung kaki ke ujung rambut. Meneliti semua yang melekat di tubuhku.

Wanita itu mengangguk. "Kamu Anisa, kan? Ayo naik di belakang," katanya kemudian menghidupkan kembali mesin motornya.

Hanya sepuluh menit perjalanan kami tiba di sebuah rumah yang sederhana berdinding tembok tanpa dicat. Di halaman sempit yang kami lalui berserakan bahan bangunan yang sudah ditumbuhi sebagian rerumputan.

Ketika masuk di rumah itu, yang masih berlantai acian semen, Tante Maria menyuruhku duduk, lalu ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia datang lagi membawa segelas air minum. Kemudian ia masuk lagi.

Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi. Aku sangat lelah dan mengantuk. Namun aku tiba-tiba merasa lucu sendiri, tertawa sendiri mengingat pengalamanku naik pesawat sendiri.

Selama SMA, aku sudah dua kali naik pesawat menuju Jakarta dan Surabaya dalam rangka lomba sains. Aku mewakili Sulawesi dan yang terakhir mewakili Sulawesi Selatan. Anak miskin naik pesawat? Kenapa tidak?

Rasanya aku ingin tidur. Namun Tante Maria tidak kunjung keluar menemuiku. Bahkan aku terperanjat saat mendengar dari ruang dalam sesuatu yang jatuh ke lantai dan sepertinya pecahan kaca. Tiba-tiba aku merasa tidak enak. Bukan tidak enak badan tetapi tidak enak hati.

Saat pandanganku mengabur karena kantuk, dua orang gadis seumurku keluar dengan menyibak gorden pembatas ruangan dengan kasar. Mereka menatapku tidak bersahabat lalu berlalu keluar. Aku menelan air liur.

"Andai aku sudah dapat kost." Aku membatin.

Aku segera membuka ponsel. Ah ponsel ini milik Kak Ratmi dan Kak Ratih. Lucu juga satu ponsel dimiliki dua orang. Waktu aku sudah pasti berangkat, ibu dan ayah berusaha membujuk agar ponsel itu diberikan kepadaku. Sebelumnya ibu sudah mengatakan kepada kedua kakakku itu agar ikhlas memberikannya kepadaku agar berkah. Ibu juga berjanji kepada kakakku akan segera mengganti ponselnya.

Aku akan mencari rumah kost yang murah dan harus dekat dengan sekolahku nantinya. Tetapi bagaimana aku tahu? Lokasi sekolahku saja belum aku tahu.

"Oh, iya. Aku rasa siswa di sekolah fesyen akan diasramakan. Dan itu sudah include dengan biaya pangkal." Aku mengangguk-angguk senang. Semoga bekal uangku cukup.

Tante Maria muncul dari dalam dan duduk di sampingku. Sepertinya ia akan mengatakan sesuatu tetapi kelihatannya ragu-ragu.

Lihat selengkapnya