Di lantai dua, aku dan Tante Maria menemui seorang wanita paruh baya dan seorang perempuan muda. Keduanya hampir bersamaan menyapa kami dan salah satunya berdiri menggeserkan kursi lalu mempersilakan kami duduk. Wanita muda itu terlihat sangat ramah sedangkan wanita yang paruh baya hanya tersenyum sebentar. Aku sempat membaca nama mereka yang dijahit bordir di baju mereka. Suhartini dan yang muda bernama Nafa.
"Maaf, mau daftar, Bu?" tanya si wanita muda.
Tante Maria mengangguk. "Ini ponakan yang mau daftar," kata Tante Maria. Aku juga ikut mengangguk.
Setelah pendaftaran selesai aku disodori sehelai kertas, disuruh baca baik-baik dan esok harinya kertas itu harus dikembalikan sekaligus memberikan keputusan jadi atau tidaknya mendaftar ulang.
Setelah meninggalkan ruang pendaftaran, Tante Maria mengajak aku berhenti di dekat tangga turun. Ia meminta kertas yang diberikan oleh panitia pendaftaran. Tante Maria segera membaca isi kertas itu. Setelahnya ia malah mengerutkan kening,
"Nih! Coba kamu perhatikan!" Tante Maria memberiku kertas itu dengan sedikit kasar dan kesal.
Aku segera membacanya. Deretan angka-angka sebagai syarat pembayaran membuatku seketika mual. "Sebanyak ini?" Aku terhenyak. Mengapa tidak sama jumlahnya waktu aku melihat di internet? Baiklah, saat ini juga akan kutanyakan kepada panitia.
"Makanya cari tempat kursus yang isi kantong terjangkau," kata Tante Maria. Ia mengajakku pulang saja.
Aku masih mematung di ujung tangga sementara Tante Maria sudah menapakkan kakinya di anak tangga bawah.
"Ayo!" Ia mendongakkan kepalanya kepadaku yang masih berdiri sambil melambai-lambaikan tangannya.
Aku masih terpaku. Rasanya aku ingin balik menemui panitia pendaftaran.
"Ada apa lagi?" kata Tante Maria. Suaranya bergema.
"Aku akan tanya kepada panitia pendaftaran tadi, Tante."
Tante Maria segera naik tangga, berusaha menarik tanganku agar mengikutinya turun. Tetapi aku malah menjauh dan bergegas ke ruang sebelah tanpa memperdulikan Tante Maria. Namun kedua wanita yang bernama Suhartini dan Nafa sudah tidak ada di tempatnya. Yang ada tiga perempuan muda yang kutaksir tidak jauh beda dengan umurku. Mereka cantik- cantik. Kulit mereka bersih dan berbaju bagus. Mungkin mereka akan mendaftar juga.
Ketiga perempuan itu menatapku. Satu yang tersenyum dan yang lainnya tidak.
"Mau daftar?" tanya perempuan yang tersenyum.
"Sudah tadi, Kak."
Perempuan yang tersenyum itu mengangguk. Dan dari arah samping kedua panitia pendaftaran tadi muncul tergesa-gesa. Setelah mendekat mereka heran melihatku.
"Masih ada yang perlu kami bantu, Kak?" tanya perempuan yang bernama Nafa.
Aku merasa malu mengatakan yang sebenarnya. Aku malu didengar oleh tiga orang pendaftar di sampingku.
"Ada apa, Kak?" Nafa seperti heran melihatku mematung.
Aku mendehem lalu ragu-ragu menjawab. "Apakah pembayaran ini bisa diangsur?" Aku berusaha mendekat kepada Nafa, mengecilkan volume suara. Aku tertunduk malu. Wajahku rasanya sudah setebal tembok. Dan aku tidak tahu bagaimana reaksi Nafa dan ketiga perempuan di sebelahku. Aku berharap mereka tidak mendengar penuturanku.
"Oh, begitu ya, Kak," kata Nafa membuatku sadar dari lamunan.
"Kita bisa bicara di ruangan itu setelah kakak ini mendaftar," kata Nafa. Aku mengiyakan.