Setiap hari jadwal belajar di mulai pukul delapan pagi. Namun sebelumnya, ada kegiatan senam bersama selama setengah jam di setiap pukul enam pagi. Demikian maksud isi peraturan yang tertempel pada sehelai kertas pengumuman di pintu bagian dalam.
Sebelum tidur, di malam pertama kami berempat mengadakan hompimpah untuk menentukan pasangan tidur kami. Hasilnya, aku tidur dengan Rara. Sedangkan Miranda bersama Ina. Yang aku suka tempat tidurku adalah posisinya persis berada di sisi jendela yang jika setiap dibuka akan bertemu dengan hamparan sawah yang luas nan menghijau.
"Kok di kota ada sawah ya," bisikku dalam hati. Tapi aku segera ingat, lokasi sekolah ini pinggir kota. Jadi wajar saja kalau ada sawah. Ya, sudahlah. Tak perlu kupermasalahkan. Kupikir ini sebuah anugerah. Pemandangan yang selalu mengingatkan kepadaku pada sebuah catatan hidup bahwa dari sawah itulah para petani hidup, mereka menggarapnya hingga menjadi nasi yang aku makan. Meskipun di samping rumahku bukan sawah, melainkan hamparan kebun sayur, bagiku sama saja, keduanya merupakan lambang kemakmuran.
Samar-samar aku melihat Miranda sudah bangun kala aku masih menggeliat di tempat tidur. "Oh, kuraih ponselku. Di layarnya tertera pukul empat lewat sepuluh menit. Miranda cepat sekali bangun." Aku membatin.
Sebenarnya aku masih ingin memejamkan mata, toh masih lama juga tiba waktu salat subuh. Tetapi Miranda sudah membuat kamar menjadi terang benderang. Aku tidak bisa lagi tidur kalau kamar terang begini. Kulirik Rara, ia malah menarik selimut sampai menutup kepalanya. Mungkin ia merasa terganggu dengan cahaya lampu padahal ia masih mau tidur. Sedangkan di ranjang sana, Ina masih terlihat pulas.
Aku bangun lalu duduk di tepi ranjang, menyimpul rambut panjangku lalu menjempitnya. Aku segera turun dari ranjang kemudian berjalan menuju kamar mandi.
"Cepat sekali bangun, Mira."
Mira terlihat membaca buku kecil seukuran saku baju saat aku lewat di depannya. Aku mengernyitkan kening kemudian segera berlalu ke kamar mandi. Ia hanya mendongak sebentar seraya tersenyum lalu ia membaca lagi.
"Baca buku apa?" Aku duduk di samping Miranda sambil mengusap wajahku dengan tisu, setelah keluar dari kamar mandi.
Miranda tidak menjawab, tetapi ia mendekatkan buku itu di depan wajahku lalu ia membalik buku itu untuk memperlihatkan sampulnya. Kedua alisnya terangkat.
"Wahai Wanita, Tutuplah Auratmu!"
"Wah! Bagus sekali judul buku itu, Mira. Kapan-kapan aku mau pinjam."
"Sekarang juga boleh. Buku ini sudah beberapa kali aku baca. Nih! Terus, masih ada beberapa buku yang aku bawa. Kamu bebas pinjam kok," kata Mira lagi.
Aku senang mendengarnya. Aku suka baca buku, novel atau apa saja."
"Orang suka menulis itu memang pembaca yang baik," kata Miranda lagi.
"Tahu dari mana?"
"Ada tante aku seorang novelis. Bukunya sudah mejeng di toko buku besar itu."
"Oh, ya? Beneran, Mira?"
Mira mengangguk. "Kapan-kapan aku kenalin sama kamu."
"Aku mau!" Tidak kusadari suaraku yang besar membuat Ina bangun.
"Bahas apa sih, ribut amat!"
Aku dan Miranda saling memandang lalu tertawa.
"Bahas calon penulis, nih!"
"Siapa calon penulis, Mira?" Ina bangun sambil mengucek-ngucek kedua matanya.
"Siapa lagi kalau bukan Nisa," kata Miranda.
"Sudahlah! Aku menulis sebatas hobi aja, kok. Ya, sudah. Ayo kita bersiap ke musala."
"Aku malas ke sana. Dingin. Aku mau salat di kamar saja," kata Ina.
"Ya, sudah kalau begitu. Aku dan Miranda ke musala saja," kataku lalu mengajak Miranda pergi.
Pulang dari musala, Ina terlihat tidur.
"Tidak boleh tidur di pagi hari, Na. Apalagi habis salat subuh. Dilarang banget."