ALMIRA

Andi Sukma Asar
Chapter #11

Bab 11. Si Bocah Gundul


Jumat, pukul 04.10.


Aku menggeliat ingin bangun. Namun terasa ada yang bertiup di sampingku. Aku berusaha menajamkan penglihatan meskipun suasana masih temaram. Aku melihat seisi ruangan. Masih sepi. Tumben si Miranda belum bangun. Tanganku meraba-raba jendela yang berada persis di sampingku. Ya, Allah ternyata tidak dikunci sehingga terbuka sedikit, setengah jengkal jari. Aku bangun ingin menutup jendela, namun urung. Kubiarkan saja angin dingin menelusup ke kamar. Juga ke tubuhku. Hm, aku jadi ingat rumah. Di kamarku jika dibuka daun jendelanya, yang pertama kutemui adalah hamparan kebun sayur mayur yang menghijau.


"Tapi siapa yang membuka jendela ini?"


"Anak-anak, bangunlah! Yang mau salat di musala, silakan." Terdengar suara dari intercom. Kulihat Ina segera bangkit dari pembaringan. Cewek berkulit bersih itu duduk di kasur sambil memeluk lutut.


Secara reflek aku setengah berteriak. "Pamali duduk begitu, Ina. Eh, maaf. Keingat larangan ibu soalnya. Maaf, ya."


Pandangan Ina kepadaku kurang enak aku tangkap. Tapi ya, bagaimana lagi, sudah terlanjur. Meskipun begitu, Ina segera beranjak dari kasur menuju kamar mandi.


"Maaf, Ina," kataku mengulangi saat ia lewat di depanku.


Ina melihatku lalu memejamkan mata sedetik. Aku tahu, ia tidak suka ditegur seperti tadi. Ia lalu mengambil handuk yang tersampir di sandaran kursi. "Aku duluan," katanya sambil berlalu. Entah kepada siapa ucapan itu ia tujukan. Mungkin kepada Miranda atau kepadaku.


"Miranda mana, ya?" Sejak tadi aku tidak melihat si cantik mata sipit itu. Eh, ternyata ia sibuk utak-atik isi lemarinya. Ia berlindung di balik pintu lemari. Sesaat kemudian ia berjalan ke arahku dengan memegang sesuatu.


"Apa ini, Mira?"


Miranda memberiku sebuah celana olah raga training spack.


"Tapi celananya saja, Nisa. Aku baru ingat, aku bawa ini saja. Bisa kamu padukan dengan baju kaos yang kemarin."


"Tidak apa. Makasih, ya, Mira."


"Oh, ya. Aku diangkat ketua kelas di desain busana," kata Miranda. Wajahnya terlihat senang.


"Sama kalau begitu. Aku juga diangkat menjadi ketua kelas desain tas, Mira." Aku tidak dapat menyembunyikan rasa senangku.


"Masak, sih?"


"Selamat deh kalian jadi ketua kelas," kata Rara dari dalam selimut. Aku melihatnya jadi tertawa geli. Rara itu agak pendiam. Sikapnya dingin, tetapi kadang sikap dan ucapannya menjadi lucu.


Aku dan Miranda saling memandang lalu tersenyum.


*


Sekembali dari masjid, Miranda, Ina dan Rara membuka tablet mereka. Rara memasang head set lalu tersenyum sementara kepalanya goyang-goyang. Sejak tadi aku mencuri pandang kepadanya. Rara pasti sedang mendengar sebuah lagu.


Tanpa terasa pukul enam kurang lima menit. "Ayo kita bersiap olah raga. Sebentar lagi pasti ada peringatan di intercom tuh," kataku.


Dari tempat olah raga, kamarku dapat dilihat. "Kok jendelanya tertutup? Perasaan tadi aku buka lebar-lebar. Apa ketiup angin? Tidak mungkin! Jendela itu ada pengaitnya yang kupasang sehingga tidak mungkin tertutup.


"Ra, kamu tutup jendela tadi?"


Rara menggeleng. "Emang kenapa?"


"Tuh! Lihat! Jendela ada yang tutup."


"Setan kali yang tutup. Lha, lalu siapa dong!"


Aku terdiam. Semalam juga aku tutup itu jendela. Malah aku kunci rapat-rapat. Tahu-tahu paginya terbuka.


Tanda tanya itu kubawa saat kegiatan olah raga bubar. Selanjutnya kami langsung ke kantin.


"Nyamanna!" Aku berseru dengan refleks dalam bahasa Makassar saat tiba di pintu kantin. Wangi masakan dari dalam menguar menampar area penciumanku. Aku menajamkan hidung yang membuat Miranda tertawa dan Ina mendengkus melihatku.


Lihat selengkapnya