Di kelasku ada beberapa teman yang sudah datang. Ilham dan Aris sedang berdiri di depan lemari alat perlengkapan menjahit.
Sebenarnya keherananku terhadap kedua teman sekelas laki-laki ini pudar, mengapa keduanya masuk ke kelas ini karena aku mengingat ayah Tri yang justru pekerjaan utamanya adalah tukang jahit. Jadi kalau selama ini tukang jahit identik dengan pekerjaan wanita, itu tidak benar ternyata. Bahkan tidak sedikit desainer pria di Indonesia yang telah sukses. Bahkan sudah merambah ke kancah intrrnasional. Siapa yang tidak mengenal Ivan Gunawan, Didit Hediprasetyo dan Danny Wirawan? Mereka telah mengharumkan nama Indonesia di luar negeri. Ya, semoga Ilham dan Aris akan mengikuti jejak mereka.
Sebenarnya aku mau ke sana, ke dekat mereka. Ada perlengkapan menjahit yang ingin aku lihat tetapi aku belum mengerti meskipun sudah kubaca berulang-ulang pada kertas yang telah dibagikan beberapa hari yang lalu. Namun mereka belum pergi. Mereka asyik bercerita. Entah apa yang mereka bahas. Malas rasanya berdekatan dengan si Ilham. Banyak sekali pertanyaannya. Aku tidak suka dicecar banyak pertanyaan.
Kak Fitri tiba-tiba muncul di pintu. Dan semua teman yang dari tadi berdiri di luar kelas masuk semua. Kak Fitri kemudian berdiri di belakang meja dengan membawa sebuah tote bag.
"Adik-adik, hari ini Kak Fitri akan membagikan sehelai kain. Anisa, silakan ambil ini dan bagikan kepada teman-temanmu, ya," kata Kak Fitri lalu memberikan tote bag itu kepadaku.
"Adik-adik, ini adalah bahan tas kita hari ini. Ada yang tahu ini jenis kain apa?"
Kelas mendadak sunyi.
"Katun, Kak." Aku menjawab agak ragu.
Kak Fitri menggeleng. "Ini bahan canvas. Kenapa kita akan mulai dengan bahan canvas ini? Sebab ini pertama kali kita akan praktek. Ini sangat mudah. Tidak perlu memakai pelapis atau pun interfacing karena bahannya sudah kaku."
Di tangan kami semua sudah ada kain jenis canvas yang menurut Kak Fitri berukuran empat puluh kali empat puluh senti meter.
"Adik-adik, kita akan membuat tote bag sederhana seperti contoh ini. Basic banget ini. Tetapi dari sinilah cikal bakal untuk membuat tas nantinya. Kita akan belajar praktek sambil belajar teori juga. Supaya seimbang keduanya." Kak Fitri menunjukkan tote bag tempat kain canvas tadi.
Kini kami dibagikan gunting, penggaris, meteran dan bolpoin. Kami disuruh menggunting kain canvas menjadi dua bagian. Jadi setelah dibagi, kedua ukuran kain akan menjadi masing-masing dua puluh kali empat puluh senti meter.
"Adik-adik, siapa yang sudah berpengalaman menjahit dengan memakai mesin?"
Kelas sunyi sesaat.
Aku menaikkan tangan. "Aku, Kak. Tapi bukan mesin jahit seperti itu." Rasanya aku malu juga berkata seperti itu. Tapi mau apa lagi. Mesin jahit Kak Endah adalah mesin jahit butterfly yang hitam. Cara pakainya diroda dengan kaki. Bunyinya ribut. Apalagi jika menjahit sambil bercerita bersaudara. Pasti sangat ribut.
Kak Fitri tersenyum mendengar jawabanku. Ia mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Mari semuanya, kalian berkumpul di tengah. Kakak akan menjelaskan terlebih dahulu tentang mesin jahit yang akan kita pakai.
Lalu Kak Fitri menjelaskan secara rinci bahwa mesin jahit yang disediakan sekolah SDM adalah mesin jahit yang lebih modern, yakni mesin jahit high speed. Mesin ini modelnya lebih besar dari mesin jahit pada umumnya. Mesin ini juga berat sehingga susah dipindahkan. Saat ini semua mesin dioperasikan dengan dinamo, mesin akan otomatis beropersi hanya dengan menekan dinamo tersebut dengan kaki.
Tibalah saatnya kami duduk di belakang mesin masing-masing. Rasanya senang sekali. Rasanya aku ingin berteriak memanggil ayah dan ibu.