"Ibu! Ayah! Nisa sudah punya tas bagus nih. Ntar Nisa bikinkan tas cantik buat ibu agar bisa dipakai ke hajatan tetangga." Air mataku seketika meleleh. Niatku membuat tas perdana buat ibuku pupus. Aku malah membuat back pack.
Hampir tiga bulan di SDM, akhirnya aku telah merilis dua tas. Tidak tanggung-tanggung, setelah berhasil membuat tote bag sederhana, aku mulai berani membuat back pack. Dengan pemilihan model dan bahan yang aku inginkan, membuat aku sangat berbahagia. Mungkin bahagiaku sama persis ketika pertama kali mendapat baju baru berenda merah di dada, hadiah dari ibu. Untunglah Kak Fitri sebagai guru membebaskan para siswanya memilih bahan dan model yang yang diinginkan.
Sebelum sampai di titik ini kami para siswa tentu sudah diajarkan pada hal-hal yang sangat mendasar sebelum memutuskan membuat tas sesuai selera, bentuk maupun ukuran. Intinya, kami sudah dibekali ilmu, dan ilmu itu akan kami eksplor sesuka hati. Membiarkan imajinasi kami mengemuka bebas.
*
Pada akhirnya aku memilih bahan canvas lokal saja. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Kak Fitri. Yang sebetulnya bahan yang paling minim di lemari. Mengapa aku memilih bahan canvas? Sesuai penjelasan dari Kak Fitri bahwa bahan ini tebal. Jadi karakteristik bahan canvas sangat cocok untuk produk yang saya inginkan.
Aku segera mengambil bahan sesuai nomor urut panggilan. Menggunakan nama berinisial A kadang membuat hidup ini lebih beruntung. Beruntung memilih lebih awal, itu contohnya.
Bahan canvas yang polos ini sepertinya tidak mau aku padu padankan dengan jenis bahan lain atau warna lain. Aku ingin melihat tampilan akhirnya nanti lebih natural sebagai sebuah tas yang utuh. Setelah selesai, dari situlah aku bisa mengembangkan ide ku, mau ke arah mana. Aku harus menambah warna atau bahan atau memodifikasi di sana sini. Dari Kak Fitri aku juga sudah tahu bahwa model tas yang kita pilih dari role model, bisa dimodifikasi baik ukuran maupun bahan. Tergantung sampai di mana kreatifitas. Aku jadi senang. Tiba-tiba ada sesuatu yang bergejolak dalam pikiranku. Wajahku terasa semringah. Aku telah menggenggam harapanku. Padahal ini baru awal.
Pandanganku menelusuri langit-langit ruangan lalu keluar menemui langit biru. wajah ayah dan ibu melintas. "Tunggu aku di sana, wahai pelangi! Aku akan duduk di tangga warnamu yang indah!"
*
Tas perdana ini aku pilih warna abu-abu gelap. Satu dari tiga warna bahan canvas yang tersedia di lemari bahan. Tekstur bahan ini cenderung memang kaku dan kasar. Kelebihannya adalah tidak perlu memakai interfacing. Menurut Kak Fitri, aku hanya membutuhkan bahan busa ati yang agak tebal berukuran kira-kira dua puluh senti atau lebih sedikit untuk botton back pack.
Awalnya kami semua dijatah bahan sebanyak satu meter lima belas senti. Ditambah printilan seperti resleting, ring D, kaitan pada ring D, kancing magnet dan webbing ukuran dua senti meter. Tetapi back pack yang aku buat tidak membutuhkan printilan kancing magnet. Sebab biasanya kancing magnet digunakan pada bagian flap tas. Sedangkan tas buatanku selain res utama ada res kecil di sebelah kiri dan kanan pada bodi utama, sekaligus berfungsi sebagai kantong besar. Bahkan setelah kuhitung-hitung, back pack yang akan kubuat hanya menggunakan bahan canvas sebanyak tujuh puluh lima senti meter saja. Jadi sisa kainnya masih bisa aku gunakan untuk membuat tas yang lain. Dompet misalnya, sebagai tempat alat tulis, uang atau catatan lainnya.
"Wah!" Aku bertepuk tangan dengan mengepalkan kedua telapak tanganku. Walaupun ini tas kedua setelah tote bag, tapi aku tetap menganggapnya tas perdana.
"Kamu berani membuat back pack? Ini termasuk susah, lho, Nisa?"
Aku berpikir sebentar lalu tersenyum kepada Kak Fitri. "Akan aku coba, Kak."
"Ya, sudah kalau begitu. Silakan saja, Nisa. Kak Fitri tunggu lho hasil yang sangat rapi," kata Kak Fitri kemudian menepuk punggungku sekali. Lalu ia pergi.
Aku berani membuat tantangan pada diri sendiri karena sudah beberapa kali aku menonton yutubnya Maria Adna. Aku sangat tertarik dengan tehnik yang digunakannya. Sangat mudah untuk diikuti. Apalagi bagi orang yang sudah punya teori dan pengalaman menjahit. Ia pasti akan tertarik meskipun terlihat susah.
Walaupun begitu, setiap awal membuat sesuatu yang belum pernah dibuat, pasti akan menemui kesulitan. Aku pun begitu.
Ada dua orang yang dijatah menggunakan meja desain setiap membuat pola atau menggunting bahan. Aku mendapat kesempatan pertama. Kalau mendesain tas baik dari segi model atau warna atau detail lainnya, kami para siswa akan merencanakannya lewat komputer. Ada aplikasi khusus yang disediakan pihak sekolah. Meskipun begitu aku tetap suka menggambar di kertas khusus menggambar.
Kak Fitri hampir tiap menit berjalan di belakangku lalu berdiri sejenak di sampingku. Mungkin ia masih meragukan rencanaku membuat tas yang menurutnya sukar.
Setelah membuat pola, aku langsung menempatkannya pada kain yang sudah aku bentangkan. Dengan menggunakan spidol biasa yang berwarna hitam, aku mencetak pola dengan sangat jelas. Dulu Tante Bunga menggunakan spidol biasa juga. Tapi hasil karyanya pun bagus.
Setelah itu aku segera menggunting semua pola dengan melebihkan semua sebanyak satu senti meter.
Aku merasa deg-degan saat semua pola sudah lengkap. Di mejaku sudah ada pola, kain canvas, semua printilan yang aku butuhkan. Saatnya menjahit.
"Kenapa, Nisa? Sudah selesai mencetak pola?"
"Sudah, Kak." Aku memandang Kak Fitri dengan wajah senang.