Ketika aku sampai di kamar, musala terdengar sudah mulai mengaji. Miranda sudah duduk di tepi ranjang sambil memegang mukena. Ketika baru pertama kali sekamar, aku tidak menyangka ia sereligius itu. Aku malah merada di bawahnya.
"Ayo ke musala, Nisa, Ina," kata Miranda.
Aku mengangguk dan langsung mengganti pakaian. Setelah itu mengambil air wudu. Kulihat Ina yang masih tergolek di ranjang sejak aku datang akhirnya bangun juga.
"Ikut dong!" kata Ina.
"Kalau gitu, ayo cepet ambil air wudu," kata Miranda.
"Di sana aja," kata Ina.
"Lebih baik wudu aja di sini, Na. Kalau sudah sampai di musala kita langsung masuk, salat."
Ina melihatku sesaat tanpa mengatakan apa pun. Tetapi ia segera turun dari ranjang lalu ke toilet. Aku diam saja melihat sikapnya. Aku selalu menyesali diri sendiri setiap selesai mengatakan apa pun kepada Ina. Apalagi jika ucapanku bernada menyuruh atau mengingatkan. Maksudku baik dan spontanitas, tapi mungkin Ina merasa diajari atau apalah.
Di ranjang aku malah melihat Rara berdiam diri. Sejak aku masuk kamar tadi, Rara sudah menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Ketika kusapa sebentar, ia menyingkap bantal dan kedua matanya bengkak seperti habis menangis. Aku menatapnya sejenak sementara mukena sudah kupeluk di dada. "Kenapa, Ra? Masih persoalan tadi?"
Rara diam. Ia malah menutup kembali wajahnya dengan bantal. Lalu kulihat kedua bahunya bergerak naik turun. "Ia pasti menangis," kataku dalam hati.
Saat meninggalkan Rara, aku mengerutkan kening. "Si Rara seperti kena tantrum aja."
Sepulang dari musala, kami bertiga masih melihat si Rara di ranjang. Ia masih berbaring dan menutup wajahnya dengan bantal.
"Rara masih jengkel?" Aku memandang wajah Miranda dan Ina.
"Tadi ia kena semprot juga sih!" Akhirnya Ina angkat bicara.
"Semprot? Semprot dari mana?" tanya Miranda.
"Bukan dari mana, Mira. Tapi dari Kak Ainun," kata Ina lagi.
"Kak Ainun?" Aku malah bertanya kepada Ina.
"Iya. Tadi itu Rara salah memasang aksesoris sepatu. Terus disuruh ulang sampai tiga kali. Mungkin Rara saat itu tidak konsentrasi, ya, jadinya pekerjaannya tidak bagus. Terus ia tidak suka dibentak oleh Kak Ainun. Ya, gitu, Rara akhirnya nangis di kelas."
"Oh! Kak Ainun memang suka marah-marah, ya?"
"Langsung marah-marah, sih, enggak. Tapi kalau ada pemicunya ia suka banget naik darah," kata Ina lagi.
"Di kelasku pernah juga emosi satu kali. Pemicunya salah seorang dari kami tertawa aja saat ia sedang menjelaskan. Eh, Kak Ainunnya merasa tersinggung dan berhenti menjelaskan. Pelajaran kami terpaksa jeda lima menit."
"Di kelasku malah pernah dua atau tiga kali marah-marah," kata Miranda.
"Jadi Kak Ainun ceritanya memang hobi marah, kali, ya." Kami berempat lalu tertawa.
"Pokoknya aku mau pindah kelas!" Tiba-tiba terdengar Rara bersuara. Ia membuka bantal yang menutupi wajahnya. Lalu kembali menutupi wajahnya.
Aku, Miranda dan Ina saling memandang. Aku menaikkan wajah sekali kepada Ina dan Miranda. "Kita harus tolong Rara. Tapi bagaimana caranya?"
Kami bertiga diam saja. Belum ada jalan keluar dari kepala.
"Kalau hanya karena Kak Ainun, bukan alasan untuk pindah, kan?" Aku memandang Ina.
Ina dan Miranda mengangguk. "Sebab di kelas mana pun Rara berada, pasti ketemu Kak Ainun," kata Miranda.
"Jadi?" "Jadi mari kita makan. Sebentar lagi intercom pasti memanggil.
Aku bangkit dari kursi menuju ranjang, bermaksud membangunkan dan mengajak Rara ke kantin, namun Rara malah menarik selimut.