ALMIRA

Andi Sukma Asar
Chapter #17

Bab 17. Lahiran


Sepuluh menit berlalu, aku masih sendiri di gazebo ini. Tidak seorang pun yang datang sekadar duduk-duduk atau apalah di tempat ini. Apakah selalu seperti ini? Padahal tempat ini enak sekali. Sejuk. Di sini banyak ide yang bisa berseliweran. Beneran. Tak terkecuali rasa ngantuk.


Dari gazebo ini samar-samar wangi aroma masakan merambat lewat kisi-kisi jendela dapur. Sesekali terdengar suara riuh dari sana. Mungkin para chef berlomba-lomba menampilkan resep masakannya. Atau mereka saling mencicipi resep temuan mereka.


Aku berselonjor menikmati udara sejuk yang bertiup. Lima menit lagi aku di sini. Teman sekamarku pasti sedang mencariku. Sebab setelah makan siang, aku menyelinap ke sini tanpa memberitahukan kepada mereka. Aku memang suka begitu. Ke mana mau pergi, pergi saja.


Di samping gazebo kecil di sudut halaman, seorang laki-laki tua sedang berjalan memegang parang. Aku menatapnya sesaat. Apakah ia yang mengurus halaman ini?


"Bapak itu berjalan ke arahku." Aku beringsut ke pinggir gazebo lalu berdiri sambil menatap laki-laki itu.


Saat ia mendekatiku, aku memberinya senyum serta menundukkan kepalaku. Ia tersenyum juga.


"Siswa baru, Nak?"


"Aku mengangguk. "Iya, Pak." Duh! Sungguh adem perasaanku disapa seperti itu.


"Siswa lain tidak ada yang mau bermain ke sini. Kata mereka sunyi. Padahal aku memelihara halaman ini untuk mereka," kata laki-laki itu yang kutaksir umurnya mendekati tujuh puluh tahun. Tapi fisiknya masih terlihat kuat. Mungkin ia mantan prajurit.


"Nanti aku dan teman-teman yang selalu datang ke sini, Pak," kataku lalu tersenyum.


"Anak ini dari mana?" Ia memasukkan parang disarung parangnya yang tergantung di pinggang.


"Oh, aku dari Makassar, Pak."


"Bapak ini pernah tinggal di Makassar. Selama dua setengah tahun."


"Oh, ya, Pak?"


"Tinggal di mana?"


"Ada namanya daerah Tanjung. Dulu Bapak ini melatih para pedayung di sana."


Aku mengangguk. "Tahu, Pak. Oh, jadi Bapak yang melatih para pedayung Sulawesi Selatan sampai juara berturut-turut selama tiga kali? Hebat, Pak!"


Ia mengangguk. "Cerita yang sangat menyenangkan. Orang-orang Makassar pada ramah. Sayang sekali Bapak dipindah tugaskan ke daerah lain. Baiklah, Nak. Bapak pergi dulu. Masih ada yang mau Bapak kerjakan." Ia berjalan kembali ke arah gazebo yang kecil.


"Aku lupa bertanya, siapa nama bapak itu." Aku memandangnya pergi hingga menghilang di balik dinding dapur.


"Nisa!"

Aku melihat Miranda, Ina dan Rara datang datang menyusulku.


"Ayo! Ngapain di sini?" tanya Miranda setelah tiba di dekatku.


"Rasakan aja suasananya. Enak, kan? Tapi heran juga, kenapa para siswa SDM tidak ada yang mau datang ke sini, ya."


"Soalnya jauh kali dari asrama. Capek-capek aja ke sini mending di kamar atau di halaman. Kan, sama aja sejuknya," kata Ina.


"Iya, bener juga. Lagian, ini area belakang, ya," kataku lalu tertawa.


"Tapi di sini lebih sejuk lho!"


"Iya, Mira. Di sini sejuk sekali. Bagaimana kalau tempat ini kita jadikan base camp?" Mataku terasa berbinar memandang ketiga sekamarku secara bergantian.


Lihat selengkapnya