Miranda, Ina dan Rara sudah lelap sejam yang lalu. Sedangkan aku mengantuk saja belum. Aku sedang memikirkan sesuatu.
Pertama, aku ingin membuat gazebo itu benar-benar tempat kami berkumpul selain di kamar. Aku, Miranda, Ina dan Rara. Aku ingin membuat sesuatu di base camp itu, yang nantinya akan membuat kami berempat selalu mengingat momen di sana. Aku mau di gazebo itulah cita-cita kami selalu tumbuh dan berkembang menjadi lebih indah dari harapan. Kami akan saling mendukung, mengkritik dan mengasihi. Jika kami berempat sudah tamat di sini, hal pertama yang mengingatkan kami adalah gazebo itu.
"Oh, iya. Aku ingat. Gazebo itu terdiri dari empat pilar. Masing-masing di sudut bangunan. Aku ingin menulis nama-nama sekamarku kemudian akan aku tempel pada masing-masing pilar. Aku mau menambahkan nama Maya."
Kedua, aku mau membuat tas yang fenomenal tetapi sederhana dan elegan. Di kepalaku hanya terlintas tote bag. Meskipun begitu, aku pernah melihat tote bag milik brand yang terkenal di dunia. Kalau dilihat sih, sederhana sekali. Yang menjadikannya istimewa dan dicari oleh para konsumen karena brand nya itu. Mungkin saja. Para selebriti suka aksesoris karena brand nya yang terkenal. Harga tidak menjadi masalah. Aku mau membuat tas yang akan menjadi lirikan rumah-rumah mode. Oh! Aku ingat sekarang. Rumah mode pertama sekali aku lihat di Bandung ini mungkin suatu saat bisa kuajak bekerja sama. Cieee ...
Yang ketiga, aku selalu kepikiran merk tas TANIA dan FITRI. Tas kedua guruku itu bikin penasaran saja. Mereka membuat merk di mana, ya? Pasti mahal dan pesannya mesti banyak. Biasanya sih begitu. Semoga Kak Fitri memanggilku lagi ke kamarnya. Aku ingin bercerita sepuasnya. Aku ingin mengeluarkan semua unek-unek yang bergerombol dan berbaris-baris di kepalaku.
Aku tertawa saat mengingat obrolan aku dan Kak Fitri di kamarnya. Kamarnya itu terletak di lantai dua. Kalau tidak salah ada sepuluh kamar di sana. Semua diperuntukkan bagi guru-guru Sekolah Desain Marni.
Waktu itu Kak Fitri bilang aku tinggal di mana kalau di Makassar. Terus Kak Fitri juga bercerita bahwa rumahnya di kota bunga Malino. Bukan persis di pusat Kota Makassar. Orang tuanya petani bunga di sana dan mempunyai sebuah villa. Lalu Kak Fitri juga bercerita bahwa masa SMA nya ia habiskan di Kota Makassar. Ia tinggal bersama tantenya. Ia bersekolah di sebuah SMK. Ketika aku katakan kepadanya bahwa Kak Endah juga bersekolah di SMK itu, Kak Fitri malah mengenal Kak Endah. Ia bilang, Kak Endah adalah teman terbaiknya. Aku terharu.
Kami menghabiskan waktu hampir satu jam bercerita. Kak Fitri selain tegas ternyata ia cukup ramah dan terbuka.
Malam semakin jauh merayap. Kesiur angin sangat jelas terdengar seperti membelai-belai jendela. Namun mataku belum juga disinggahi rasa kantuk.
Aku kemudian beranjak mengambil sehelai karton di laci meja. Lalu mengambil spidol besar. Aku tersenyum. Aku suka membuat tulisan letter. Dulu di kamarku, berbagai macam font aku pelajari sampai jauh malam. Suka sekali. Kini aku ingin membuat sesuatu tulisan yang membuatku senang kemudian aku simpan di gazebo.
Aku mulai menulis namaku, nama Miranda, Ina dan Rara. Lalu aku mulai membuat singkatan dari nama kami berempat. "Apa, ya?"
Hampir setengah jam aku mencari nama yang pas. Ya, aku menemukan AMIRA (Anisa, Miranda, Ina dan Rara)
"Masak AMIRA? Bagaimana kalau aku tambah huruf L biar terdengar keren? Ya. AL MIRA saja."
Aku bertepuk tangan tapi tidak kedengaran. Aku tidak mau ketiga orang yang terlelap itu melihat tingkahku yang lebay.
"Sip. ALMIRA. Oh! Maya, aku sampai lupa. Anak itu cerdas dan kritis tapi penyabar. Aku suka kepribadiannya. Okeh deh! Maya bisa masuk."
Kini aku mulai meletter AL MIRA dengan spidol besar berwarna ungu. Kemudian di bawahnya aku menulis nama ANISA, MIRANDA, MAYA, INA, RARA.
Di bawahnya aku menulis: Desainer masa depan. Sukses. Sukses. Sukses.
Setelah kutulis semuanya, rasanya menjadi plong. Aku senang. Besok setelah salat subuh aku akan menempelkannya di gazebo.
Jam di layar ponselku pukul setengah dua. Kantuk pun mulai menyapa. Sebelum berangkat tidur, aku mengambil air wudu. Sudah dua malam aku tidak salat tahajud. Kali ini aku paksakan meskipun mata sudah terasa berat. Tidak! Aku akan melawan setan yang menggodaku agar aku tidak tahajud. Aku ingin memohon kepada Tuhan agar aku diberi kesehatan dan kekuatan belajar di sini. Agar aku mampu menggapai cita-citaku.
Setiap pagi aku juga selalu mengafirmasi diriku: Aku yang terbaik, selalu bersama Allah, mandiri dan selalu melaksanakan semua pekerjaan sampai selesai. Sekarang aku bangkit dari kursi menuju tempat tidur.
ketika aku bangun, sayup-sayup terdengar azan dari musala. Oh, hanya berapa jam saja aku pulas? Aku bangun lalu menyentuh tangan Miranda dan Ina. Mereka segera bangun lalu berwudu demi mendengar suara azan.