Kemauanku yang keras untuk memiliki merk dipahami oleh Kak Fitri. "Akan aku bantu kamu, Nisa. Pasti Ibu Marni akan membantu kamu juga."
Ucapan Kak Fitri itu terngiang-ngiang di telingaku disertai harapan besar. Entah mengapa dengan adanya merk itu kupikir produk tas aku akan semakin tampil elegan. Tetapi aku menyadari, sebenarnya keinginanku itu masih jauh dari jangkauan. Aku masih belajar, belum waktunya punya merk. Jam terbangku belum tinggi, kepakan sayapku masih lemah. Aku bisa saja jatuh karena kelemahan dan sebuah kesalahan. Tapi sungguh! Aku ingin punya merk khusus untuk momen festival sekolah. Andai hanya bisa dipesan dua atau tiga pises saja.
Aku menyapu hamparan sawah di seberang dengan pandangan yang digenangi air mata. Dari mana aku dapat uang beli merk?
Di sana sudah banyak terlihat orang-orang yang akan panen bersama. Wajah mereka gembira menyambut panen.
"Gimana merk nya, Nisa?" Miranda datang dan berbaring di sampingku.
"Kak Fitri akan usahakan, Mira. Semoga aja ada jalan keluar."
"Kalau tidak bisa dan waktunya enggak terlalu mepet, aku akan hubungi tanteku. Kali aja bisa bantu kamu, Nisa."
"Aku menggeliat. "Terima kasih, Mira. Apakah keinginanku ini begitu menyusahkan orang? Maksudku Kak Fitri, Ibu Marni dan kamu sendiri, Mira."
Miranda menggeleng. "Justru kesempatan ini harus kamu pergunakan sebisa mungkin. Kamu harus berusaha seoptimal mungkin agar produkmu nanti paling cantik dan paling manis sehingga dapat juara. Dan selanjutnya akan bertarung di kancah nasional. Euichhh .... kerennya, Nisa!" Miranda bertepuk tangan. Setelah itu Ina dan Rara ikutan bertepuk tangan dari ranjang yang satunya.
"Terima kasih semuanya." Aku tersenyum kepada mereka bergantian.
Kini sambil menunggu berita dari Kak Fitri, hal yang tak kalah pentingnya aku pikirkan adalah model tas.
"Kira-kira tas apa yang aku akan bikin?" Lagi-lagi aku memandang Miranda, Ina dan Rara. Ketiganya langsung terdiam lalu memegang kepalanya. Mira malah memicingkan kedua matanya yang memang sudah sipit hingga hanya meninggalkan garis kecil saja. Lucu sekali Miranda jika seperti itu.
"Ahai! Tote bag aja!" Seru Miranda. Ia langsung bangun dan duduk melipat kedua kakinya.
"Clucth aja. Bikin yang mewah buat pesta," kata Ina.
Aku memandang sambil tersenyum seakan-akan menunggu buah pikiran si Rara.
"Apa, ya? Oh, ya. Bikin mini bag aja, tetapi dari bahan yang unik. Yang tidak ada di lemari bahan," kata Rara.
"Kira-kira apa, ya?" Miranda memandang Rara.
"Dari bahan eceng gondok itu unik banget," kata Ina.
"Tetapi susah dapatnya, Na. Masak harus ke danau cari eceng gondok, terus dikeringkan terus dipilah-pilah. Prosesnya panjang dan berliku. Padahal kita belum tergabung dengan UMKM," kata Rara tertawa.
"Nah! Itu kamu tahu prosesnya, Ra," kata Miranda.
"Cuma pernah baca doang," kata Rara.
"Hm, bagaimana kalau pake bahan suede. Yang seperti beludru itu. Mungkin looknya akan mewah," kata Rara lagi.
"Tapi bahan itu susah dijahit, Ra. Lagi pula, kata Kak Fitri bahan suede lebih banyak digunakan untuk lining tas. Selain bahan cordura, sih," kataku.
"Cordura itu apa, Nis?" Miranda menatapku. Jelas sekali rasa ingin tahunya.
"Jenis fisiknya mirip plastik. Teksturnya agak licin tetapi dijahitnya enak aja. Namanya juga khusus dalaman tas."
Miranda dan Ina mengangguk-angguk mendengar penjelasanku.
"Aku akan cari bahan goni. Gimana, Teman-teman? Saat ini goni asli masih ada dijual on line, tetapi pasti susah dijahit karena seratnya itu."